Satu hal yang perlu dicermati mengenai eksistensi komunitas underground Bandung yaitu semangat militansi untuk terus mencari ruang ekspresi. Pergeseran budaya militansi yang sempat hilang dalam komunitas underground dan tergantikan dengan banyaknya sistem nilai ekonomi membuktikan bahwa semangat yang telah hilang ini bisa menjadi solusi pemecahan untuk eksistensi komunitas underground itu sendiri. Karena bagaimanapun komunitas ini awalnya hidup dari semangat militansi untuk membuat potensi berkreativitas tetap hidup, meski seringkali terhambat oleh halangan birokrasi yang ada.
Pasca tragedi AACC, eksistensi komunitas underground seperti hilang ditelan bumi dengan minimnya konser berlangsung akibat sulitnya memperoleh izin dan kurangnya venue representatif. Kini semangat untuk tetap militan yang membuat eksistensi komunitas ini terus hidup bernafas.
Konser yang dibikin ilegal, menjadi salah satu jiwa militansi komunitas underground tetap hidup berekspresi saat ini. Tentu saja ilegal dalam konteks ini berarti tanpa perlunya perizinan birokrasi dan segala tetek bengek administrasi. “Dari awalnya juga komunitas underground ini kan bermodalkan semangat militan. Apalagi ketika adanya tindakan represif dari pihak pemerintah dan birokrat, semangat militansi itu semakin muncul. Jika konser musik underground dilarang, kenapa kita tidak bikin konser secara ilegal saja. Jadinya semangat militansi itu yang muncul. Sederhananya yang penting konser jadi dan komunitas tetap berkarya, “ ujar Addy Gembel, vokalis band metal Forgotten yang seringkali terlibat dalam beberapa konser ilegal.
Menurut Addy, fenomena konser ilegal memang seringkali dibikin oleh komunitas underground bahkan jauh sebelum Tragedi AACC terjadi. Biasanya fenomena ini muncul ketika adanya keribetan dalam paparan birokrasi. “Yang penting konser jadi. Dibikin secara sederhana pun sudah oke, karena tujuan sebenarnya menjadikan konser itu sebagai media komunikasi antar komunitas. Tidak berpikir sebagai sistem ekonomi yang mesti ada profitnya,” lanjut Addy menambahkan.
Sebut saja Kampus UPI, UNPAR, ITENAS, Studio Gramma, Studio Jawara, Villa Putih Lembang, Student’s Cafe Taman Sari yang senantiasa menjadi venue alternatif untuk menyelenggarakan konser ilegal. Bagi komunitas underground ini tempat kecil dan pengap juga tidak masalah. Perihal sound system seadanya juga bukan hal yang patut dipikirkan. Bahkan dibikin secara patungan untuk bayar sewa tempat dan sound pun menjadi hal yang lumrah. Karena bagi mereka rasa persatuan komunitas yang lebih diutamakan. “Yang penting komunitas eksis aja dulu,” ujar Themfuck, vokalis band punk Jeruji yang seringkali tampil di Villa Putih Lembang. Venue tersebut menjadi salah satu langganan komunitas punk untuk menggelar konser. Bahkan tempat Villa Putih seringkali menjadi pilihan ketika ada band punk internasional yang mau manggung di Bandung yang dibikin tentu saja dalam skala terbatas.
Komunitas metal pun tak jauh beda. Apalagi komunitas metal ini tengah banyak disorot membuat eksistensi komunitas ini seolah sulit bergerak untuk menemukan ruangnya. “Pasca Tragedi AACC, ketika komunitas metal sulit mendapatkan panggung, kita pernah bikin konser ilegal di basemen Kampus Itenas dan kerjasama dengan mahasiswa setempat,” ujar Addy Gembel.
“Kita pernah bikin acara konser metal di Rancaekek. Dan rencananya kita bakal bikin konser ilegal secara rutin di tempat tersebut,” ujar Amenk, vokalis band metal Disinfected yang sering menginisiasi konser ilegal. Saat ini komunitas-komunitas underground lebih memilih tempat yang jauh dari pusat kota, seperti halnya Lembang atau Rancaekek. Apalagi belum adanya tempat representatif di kota Bandung dan berbelitnya proses birokrasi membuat komunitas underground menggeser ruang ekspresinya di pinggiran Kota Bandung.
Namun, tak lantas konser ilegal jadi semacam jalan keluar yang pasti. Rasa takut yang muncul akibat adanya pembubaran paksa atau protes warga setempat bisa jadi masalah bagi semangat militansi yang terus meluap. “Rasa takut atau perasaan khawatir selalu ada. Takut lagi enak-enaknya menikmati konser tiba-tiba dibubarin kan jadi hal yang tidak kita inginkan,” ujar Yongky yang pernah membuat konser musik hardcore/punk secara ilegal di basement Student’s Café Taman Sari. Yongky menambahkan, sempat ada protes warga perihal konser tersebut akibat adanya salah komunikasi. Apalagi konsernya itu dibikin di daerah pemukiman padat.
“Sebenarnya birokrasi masih agak ribet kalau mau bikin acara secara legal. Tapi asal sesuai prosedur yang disepakati oleh pihak berwajib, sebenarnya izin pasti turun dan gratis pula,” tutur Reza Ferdian, Ketua Panitia event organizer Sodom Movement yang mendatangkan band punk rock asal Inggris, Extreme Noise Terror beberapa waktu lalu.
Menurut Addy Gembel, jika saja tidak adanya kemacetan di level birokrasi dan pihak-pihak tertentu yang bisa mengakomodir komunitas underground sebagai potensi berkreativitas yang layak, bukan lantas memusuhi segala bentuk ekspresi komunitas underground. Apalagi konser ilegal di Studio Gramma pernah dibubarkan oleh pihak berwajib. Addy menambahkan bahwa dengan pembubaran konser ilegal menjadi sesuatu yang kontra-produktif. Justru seharusnya potensi kreativitas ini yang semestinya diakomodir. Jika semakin dikekang, komunitas ini bisa semakin militan.
Sayangnya, semangat militansi komunitas underground saat ini tidak merambah pada infrastruktur komunitas underground macam zines, indie label, event organizer (EO), dll. Padahal infrastruktur seperti itu bisa menjadi indikasi positif mengenai perkembangan komunitas underground. Minimnya zines bisa jadi salah satu indikasi betapa ada satu sistem yang salah dalam komunitas underground saat ini.
Kimung, editor zines Minorbacaankecil berpendapat, “Perkembangan zines di Bandung saat ini kurang banget. Sangat sedikit zines yang eksis. Padahal zines bagus untuk membangun sense of belonging dalam sebuah komunitas”. Kimung menambahkan ada semacam sistem dalam komunitas underground yang hilang saat ini. “Kalo melihat dari sejarahnya kan pengembangan komunitas itu ada langkah-langkahnya kayak ngumpul, ngobrol, diskusi, bikin zines, rekaman, bikin indie label, bikin konser, dsb. Nah, langkah-langkah itu ada yang hilang, salah satunya pembuatan zines tersebut,” lanjut penulis buku Myself Scumbag ini.
Semangat militansi yang hilang, menurut Kimung, bisa diakibatkan masalah kurangnya kesadaran dari para pelaku komunitas underground. Salah satunya mengapa lemahnya infrastruktur dalam komunitas underground saat ini kurangnya kesadaran untuk berbagi informasi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain lewat jejaring yang dibangun. Padahal dengan adanya media komunikasi seperti zines bisa membangun keberlansungan komunitas ke arah yang lebih kuat.
Potensi Komunitas
Selain militansi, satu potensi komunitas underground Bandung saat ini yang dimiliki yaitu kekayaan komunitas yang ada didalamnya. Beragam komunitas yang dibangun menunjukkan satu potensi berkreativitas yang lebih kaya. “Bandung memiliki beragam komunitas underground. Beragam komunitas lebih bersifat komunal, dan kedepannya diharapkan bisa bersatu. Contohnya, kayak Helar Fest yang menyatukan berbagai komunitas di Bandung. Semangat persatuan ini yang dibutuhkan agar potensi berkreativitas Bandung menuju ke arah lebih baik. Mungkin bakal ada konflik, tapi itu bakal menciptakan komunitas lebih kritis, hidup, dan ramai,” ujar Kimung menjelaskan.
Komunitas-komunitas underground macam punk, hardcore, metal, pop, elektronik, dll. mulai rutin menggelar konser musik. Setelah sebelumnya seolah mati suri akibat kekangan birokrasi dampak dari Tragedi AACC. Komunitas-komunitas yang kian banyak dan solid ini bakal menumbuhkan suatu potensi berkreativitas yang kaya.
Komunitas musik elektronik, Openlabs misalnya, rutin menggelar acara musik elektronik di Prefere Café tiap awal bulan sejak dua bulan lalu, “perkembangan musik elektronik Bandung juga semakin banyak. Kayak even Electric Youth yang sudah jadi acara regular tiap awal bulan di Prefere Café. Open Labs sendiri memiliki jadwal acara regular bernama The Ostend tiap tiga bulan sekali,” tutur Okky Raditya, pegiat komunitas elektronik Open Labs. Salah satu agenda berikutnya komunitas ini yaitu event Nu-Substance, yang jadi salah satu agenda helatan akbar Helar fest. “Tujuan dari Nu-Substance sendiri pengen memberi tahu pada mata dunia internasional tentang potensi Bandung sebagai kota kreatif terutama dalam bidang musik elektronik, namun secara tujuan atau misi kita khususnya pengen mengedukasi masyarakat soal musik.Yah, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik elektronik,” sambungnya.
Komunitas-komunitas lainnya pun tak mau kalah. Komunitas musik grunge atau komunitas Purna mulai rutin menggelar konser launching album di Twank Café. Kemudian komunitas death-metal atau komunitas Bandung Death Metal Sindikat (BDSM) yang juga bagian dari komunitas Ujungberung Rebels bakal menggelar konser musik death-metal akbar bernama Deathfest untuk ketigakalinya. Acara Deathfest sendiri masuk dalam agenda Helar Fest.
“Kita ingin memadukan tradisi sunda dengan musik death metal. Karena zaman sekarang tradisi lokal dilupakan oleh anak-anak muda saat ini. Membawa kreativitas dan kearifan lokal lebih berbicara banyak,” ujar Okid, salah satu pegiat komunitas Bandung Death Metal Sindikat dan panitia Deathfest.
Untuk membuat potensi komunitas underground tetap hidup salah satunya yaitu regenerasi di dalam komunitas itu sendiri. Regenerasi antar pelaku-pelaku di dalam komunitas underground pun perlu dilakukan. “Komunitas punk terus bergerak dan berkembang. Yang manggung di Villa Putih pun tak hanya didominasi band lama, tapi banyak band punk baru yang sudah mulai tampil,” ujar Themfuck Jeruji menjelaskan. Hal yang sama pun terjadi di komunitas metal. “Saat ini komunitas Ujungberung Rebels sedang membuat kompilasi musik death metal, ‘Panceg Dina Jalur’ yang berisikan 22 band lama dan band baru. Tapi didominasi oleh band-band metal generasi saat ini. Banyak baru yang potensial. Mereka hanya kurang mendapat perhatian saja, untuk eksisnya pun hanya mengandlakan konser ilegal, Do It Yourself (DIY) di studio-studio,” papar Man, vokalis band metal Jasad.
Perpaduan antara militansi dan potensi komunitas menjadi salah satu bukti bahwa komunitas underground Bandung ini terus mencari ruang ekspresi, tanpa mempedulikan batu-batu kerikil yang mungkin mengganggu perjalanan mereka. Jika pada era 90-an komunitas underground bersifat militan karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik saat itu, kini sifat militansi muncul akibat kebebasan berekspresi yang dinginkan oleh komunitas underground tanpa ada batasan dan kekangan.
“Kayak ada semacam sejarah berulang soal militansi dan potensi komunitas underground saat ini dengan era sebelumnya. Namun zaman sekarang sama zaman dulu cuman beda budayanya saja,” ujar Kimung. Sementara Addy Gembel menambahkan, “ fenomena ini mirip perputaran pertengahan tahun 90-an. Ketika kita kesulitan untuk mengakses sesuatu, justru militansi yang semakin timbul. Potensi komunitas underground pun semakin banyak dan kian solid.”
No comments:
Post a Comment