Saturday, January 24, 2009

GOTHIC

Bahasa Gothic (*gutiska razda) adalah sebuah bahasa Jermanik yang sudah punah dan dipertuturkan oleh bangsa Goth dan terutama kaum Therving.

Bahasa ini terutama diketahui dari Codex Argenteus, sebuah salinan naskah dari abad ke-6 dari naskah asli yang berasal dari abad ke-4 dan merupakan sebuah terjemahan Alkitab.

Naskah ini merupakan satu-satunya bahasa Jermanik Timur dengan korpus yang besar. Yang lain-lain, termasuk bahasa Burgundia dan bahasa Vandal hanya diketahui, itupun jika bisa, dari nama-nama pribadi saja yang tercatat pada laporan sejarah. Sebagai sebuah bahasa Jermanik, bahasa Gothic merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Eropa.

Bahasa ini merupakan bahasa Jermanik yang tercatat paling awal, namun tidak memiliki turunan modern. Dokumen tertua dalam bahasa Gothik berasal dari abad ke-4. Bahasa ini menjadi merosot semenjak pertengahan abad ke-6, antara lain karena kekalahan militer kaum Goth oleh kaum Frank, eliminasi kaum Goth di Italia, masuknya kaum Goth secara missal ke agama Katolik Roma (sebelumnya mereka beragama Arianisme), dan keterpencilan geografis.

Bahasa ini bisa hidup sampai abad ke-8 di Spanyol dan penulis Frank Walafrid Strabo menulis bahwa bahasa ini masih dipertuturkan di daerah Donau hilir dan beberapa tempat pegunungan terpencil di Semenanjung Krim pada awal abad ke-9.

Keberadaan korpus-korpus yang cukup awal ini membuat bahasa ini sangat penting dalam ilmu perbandingan bahasa. Nama asli bahasa ini tidak diketahui namun rekonstruksi *gutiska razda didasarkan pada Jordanes Gothiskandza, dibaca sebagai gutisk-andja, “akhir (atau batas) Gothic”. Sementara itu razda “bahasa” ditemukan pada misalkan Matius 26:73.
Idealisme

Keluasan makna dari kata ‘idealisme’ memang tidak bisa dipungkiri apalagi jika berkaitan dengan nilai popularitas, uang, dan kekuasaan. Tak salah kiranya dalam realitas kehidupan idealisme runtuh oleh realisme yang terus menghujam tanpa henti dalam setiap sendi kehidupan kita.

Dalam konteks musik pun ‘idealisme’ memegang peranan yang vital sehingga membentuk komunitas-komunitas dan aliran-aliran yang bertebaran di seantero jagat raya ini.

Di Indonesia khususnya banyak grup-grup musik yang memiliki nilai idealisme yang dibarengi dengan nilai perfeksionis bahkan me’label’kan dirinya menjadi komunitas ‘underground’ yang notabene mendapatkan sorotan tajam akibat aksi-aksinya yang brutal, tak beraturan, chaos, dan penuh dengan kondisi emosi tak sadar.

Di sisi lain munculnya komunitas ‘underground’ ini menjadi santapan lezat kaum hedonis yang menjadikan komunitas ini sebagai batu loncatan untuk mencari popularitas dan uang sehingga nilai ‘idealisme’nya berubah menjadi ‘idealisme uang dan ketenaran’. Mengapa? Silakan nilai sendiri bagaimana sejarah ‘underground’ lahir dan memiliki cita-cita untuk memajukan kaum proletar yang ingin berekspresi dengan bebas dan lepas dari kekangan ‘tikus-tikus produser dan label’ karena aturan-aturan yang membatasi ekspresi jiwa.

Banyak kiranya grup band di Indonesia yang dulunya lahir dan berkembang dari komunitas ‘underground’ dan ‘indie’ -sekarang merubah seluruh atribut-atribut kebebasannya hanya untuk mendapatkan nilai ketenaran dan kekayaan dengan melepas kebebasan berekspresinya.

Contoh yang sedang hot saat ini ialah kondisi Prisa yang notabene dulu merintis karier bermusiknya dari grup band Zala hingga Deadsquad yang beraliran Metal
prisa-with-black.jpg

Prisa saat ini melepas semua atributnya hanya untuk melambungkan dan makin melambungkan ketenarannya dengan menjual sisi lain dari dirinya untuk merubah image yang selama ini melekat (Miss Gitaris) band Metal dengan melakukan side project bersama rekan-rekannya di Morning Star dan sebelumnya tampil di muka umum dengan band Major Label J-Rock yang murni plagiat musik Japanese Rock (L’arc en Ciel) serta yang paling anehnya Prisa kembali tampil di bazzar SMUN 2 Bandung bersama grup band Metal Killed by Butterfly

Ada apakah gerangan?

Itulah konsistensi dan idealisme dalam hidup yang terkadang selalu digoda oleh hujaman keinginan sesaat dan semu demi untuk mencapai nilai ketenaran dan kekayaan yang semu juga. Dikenang sebagai musisi yang cerdas namun miskin dalam pencapaian hidup karena ‘menjual’ idealismenya dengan suatu hal yang belum tentu bernilai sama dengan idealisme awal.

Ironis memang, namun itulah wajah musik Indonesia dimana kalangan proletar (dalam konteks musik) hanya akan dijadikan batu loncatan untuk meniti karir musisi-musisi hedonis yang tidak akan pernah memahami ‘core’ musik dan sejarah komunitas itu dibentuk

So, Prisa secara gamblang saya katakan bahwa kekecewaan yang mendalam hadir dalam sanubari saya sebagai salah satu dari banyak orang ideal dan perfeksionis dalam dunia musik khususnya ‘underground’ bahwa musik bukanlah hanya sekedar ’style’ namun lebih bersifat ‘culture’ jadi -don’t be emo- apalagi jadi ‘poseur’

‘Culture’ bukanlah sesuatu hal yang dibuat dengan instan dan mudah karena lahir dari suatu pemikiran, kebiasaan dan kebebasan berekspresi

‘Cuture’ lebih bersifat tematik dan disilusionis karena akan betul-betul membentuk jati diri dan kepribadian kita sebagai manusia.

Saat ini hanya Prisa yang menjadi perhatian saya karena ia masih muda dan masih bisa merubah idealismenya kembali menjadi ikon Metal khususnya untuk kaum Hawa’ namun semuanya saya kembalikan kepada pribadinya
Multi Massive Underground Community
Kota Bandung banyak menawarkan sejuta gagasan cerdas bagi kemajuan pergerakan musik nasional. Talenta-talenta unik dan baru selalu muncul dari kota sejuk yang memiliki julukan ‘Parijs Van Java’ bahkan kota ini menjadi barometer rock underground di Indonesia dan menempati posisi ke-5 komunitas terbesar di dunia. Kontribusi musik underground Bandung pun telah mendorong sektor-sektor perekonomian lokal melalui clothing-clothing dan distro-distro yang menjadi katarsis bagi dunia kreatifitas.
Tak sekedar style yang ditawarkan melalui dandanan yang berkesan chaos dan tak lazim namun lantunan chord-chord nada yang relatif sulit dicerna, memekakkan telinga orang-orang awam yang tidak memahami core pesan dari komunitas ‘low cost marginal’ ini hingga idealisme pergerakan yang mendobrak kondisi musik-musik mainstream.
Stigma negatif yang melekat pada komunitas underground seperti alkohol, drugs hingga kekerasan dalam ekspresi dan aktualisasi diri menuntun media-media massa pra-millenium ‘alergi’ menayangkan kegiatan-kegiatan komunitas ini.
death.jpg

Wendi Putranto sebagai Editor majalah Rolling Stones Indonesia pernah mengangkat sejarah singkat pergerakan rock underground Indonesia melalui tulisan-tulisannya sehingga Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara selain negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina yang masuk dalam film sekuel “Metal Headbangers Journey” karya sutradara asal Kanada.
Di Bandung sendiri komunitas Ujung Bronx (baca: Ujung Berung) atau sekarang lebih dikenal sebagai Ujung Berung Rebels menjadi episentrum pergerakan underground Metal karena telah membesarkan beberapa band seperti Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanie Membrane, Infamy, Burger Kill, Hell Gods, Deicide, Rotten to The Core, Full of Hate dan lain sebagainya bahkan hingga saat ini komunitas Ujung Berung Rebels tak pernah berhenti menciptakan dan membesarkan band-band ternama bergenre Metal.
Peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ saat Launching album band Beside yang bertitel ‘Againts Yourself’ (09/02) di AACC yang memakan korban jiwa sebanyak 11 orang ABG sontak mengagetkan berbagai pihak, tak terlepas orang-orang yang terlibat dalam komunitas underground Bandung karena sepanjang perjalanan komunitas underground Bandung tak pernah terjadi peristiwa yang memilukan terlebih pemberitaan-pemberitaan media massa yang telah membunuh karakter komunitas underground dengan semakin mengidentikkan stigma negatif alkohol, drugs dan kekerasan padahal dalam kenyataannya stigma negatif ini notabene melekat kuat pada komunitas-komunitas lain seperti dangdut, pop dan cinta.
Berbagai kasus kematian yang mengiringi pergelaran konser band Ungu, Sheila on 7 dan pergelaran konser musik dangdut seolah-olah tersamarkan akibat sorotan tajam yang ditujukan kepada komunitas underground melalui propaganda-propaganda miring sehingga semakin mengukuhkan reaksi pemerintah daerah setempat untuk mengasingkan komunitas underground Bandung yang notabene telah mengharumkan kota Bandung menjadi barometer musik rock underground.
Pembunuhan karakter melalui publikasi universal semakin mempersulit komunitas underground menggelar kegiatan-kegiatannya karena perihal perizinan yang dipersulit dan perubahan kebijakan yang berkenaan dengan harga sewa yang tak sebanding dengan modal.
Masyarakat Bandung tentu mengenal GOR Saparua yang menjadi venue legendaris komunitas underground Bandung dan bagaimana masa keemasan di era pertengahan 90-an, underground mewabah Bandung dan memberikan tempat bagi kreatifitas dan aktualisasi yang tentunya tak memakan korban jiwa. GOR Saparua menjadi sulit untuk diraih sehingga proses gerilya tempat pun dilakukan hanya untuk mencari alternatif tempat mulai dari AACC, YPK Naripan, Dezon, Parahyangan Plaza, kampus STSI, kampus UNPAS Setiabudi. Namun kesemuanya tentu tak senyaman GOR Saparua yang notabene ‘eksklusif’ dan tak mengganggu masyarakat umum. Dago Tea House (Taman Budaya Dago) seakan-akan juga berpotensi mengalami penutupan akibat tragedi ‘Sabtu Kelabu’ yang notabene menjadi alternatif terbaik saat ini bagi pergelaran musik underground.
Hentakan bertempo tinggi, kerapatan ketukan bass drum dan rimshot snare drum yang mengundang kebisingan, membuat degup jantung semakin kencang hingga spontanitas pergerakan adrenalin yang dituangkan dalam pogo, headbang dan moshing tentu masih terbayang dalam benak kita bahwa kesemuanya bukanlah bukti ‘kriminal’ untuk menyudutkan komunitas underground sebagai parameter stigma negatif alkohol, drugs dan kekerasan karena saat acara usai, ketertiban suasana terjadi diiringi acungan kepalan tangan dan riuhan pujian sebagai bentuk penghargaan kepada para musisi yang mampu memuaskan ekspresi jiwa dan tidak berbuntut panjang hingga ke luar arena.
Bukti masa lampau yang seharusnya memberikan gambaran jelas bahwa aktualisasi dan ekspresi dalam mengakomodir fasilitas-fasilitas tidak berkelanjutan menjadi bentuk ‘anarkis’ di luar acara.
Pembatasan dan penutupan areal bergerak komunitas underground bahkan akan semakin menyulut aksi yang berpotensi ‘chaos’ dan membuktikan bahwa peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ bukanlah peristiwa yang akan atau mesti terulang di kemudian hari.
Media massa pun harus fair menilik suatu peristiwa dan tak menyudutkan salah satu komunitas dengan stigma negatifnya karena penyebab peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ tidak didasarkan atas penilaian stigma negatif yang melekat erat pada komunitas underground. Tetapi lihatlah pergelaran kegiatan komunitas lainnya yang notabene melantunkan alunan nada yang mendayu-dayu, penuh kepalsuan dan ‘murah’ dalam subtansi makna. Aneh tapi nyata, kerusuhan dan perkelahian terjadi akibat ’self control’ yang lemah dan tidak wajar karena anda hanya tinggal duduk atau berdiri dan diam mendengarkan.
angel-11.jpg
Kekuatan ’self control’ dalam komunitas underground memiliki perspektif yang positif. Gerakan-gerakan yang bagi sebagian orang terlihat ‘keras’ dan tak lazim hanya terjadi dalam suatu arena saat musik berlangsung dan hanya sebatas itu, mereka mampu menghormati orang lain yang juga ingin menikmati musik yang sedang didendangkan bahkan kondisi tertib terjalin setelah musik berhenti dan pergelaran usai. Namun lihatlah komunitas lain yang notabene dalam lantunan nada dan gerakannya tidak menyulut kerusuhan dan perkelahian tetapi terjadi juga dan memakan korban jiwa.
Keyakinan harus tetap tumbuh, underground tidak akan mati karena peristiwa ‘Sabtu Kelabu’. Kondisi pasar yang tidak memahami dan menolak mentah-mentah hingga khawatir akan terjadinya kondisi ‘anarkis’ dan ‘chaos’ tidak menurunkan semangat perjuangan pergerakan underground. Walaupun tidak bisa dipungkiri munculnya band-band kalangan hedonis yang menjadi ‘parasit’ dalam komunitas underground karena mereka muncul hanya untuk ‘nebeng’ meraih popularitas semu yang pada akhirnya menyerah kepada pasar musik komersil dengan menjual idealisme dan harga diri.
Pesona layaknya artis terkenal dan godaan materi yang menggiurkan tidak akan melemahkan semangat orang-orang yang memegang teguh idealisme dan harga diri pergerakan musik underground. Hanya para ‘poseur’ yang akan menyerah pada keadaan karena orang-orang yang memiliki idealisme dan harga diri itulah yang akan terus mendorong pasar musik underground untuk diterima sesuai dengan sejarah perkembangannya dan tak merubah sedikit pun identitas hanya untuk meraih pengakuan pasar musik komersil saat ini yang penuh dengan kepalsuan.
Pasar musik komersil saat ini bukanlah alternatif ataupun solusi bagi komunitas underground untuk dapat diterima oleh masyarakat awam karena underground akan muncul dan diterima masyarakat tanpa sedikit pun merubah identitas, idealisme dan harga dirinya.
cryptik-howling.jpg
Untuk band-band underground yang menyerah pada keadaan dan menjual harga dirinya untuk tampil dan eksis di pasar musik komersil hanya satu kata yang terurai ‘GO TO HELL‘ karena underground lahir dari suatu nilai pemberontakan terhadap mainstream musik yang mengatur dan membatasi gerak bahkan mencuci otak hanya untuk meraih popularitas semu dan materi yang besar.

No comments:

Post a Comment