Saturday, January 24, 2009

Duet Maut: Komunitas Underground Metal dan Seniman Tradisi di Ujung Berung

Beberapa minggu yang lalu, saya menikmati Kania Laksita Raras bercerita banyak tentang anak-anak underground di Ujung Berung. Homeless Crew, katanya. Kemudian Kania juga berceloteh bagaimana ia begitu mual dengan pemberitaan yang mengada-ada tentang tragedi konser Beside yang menewaskan 10 penonton (lalu bertambah menjadi 11 jiwa). Ia terjun ke Ujung Berung awalnya untuk kepentingan formal kegiatan di HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurnalistik), namun saya lihat ketertarikan Kania jauh dari sekedar formalitas. Ketertarikannya pada wacana underground di Ujung Berung ia coba ejawantahkan dengan membuat konsep diskusi. Bareng Teguh Wicaksono, si kribo, Kania merumuskan dan mewacanakan diskusi tentang tragedi di dunia musik underground ini pada anak-anak Komunitas Musik Fikom (KMF). Sandy alias ‘Utun’ si ketua KMF menyambut dengan antusias. Jadilah diskusi bertema “Pencitraan Musik Metal oleh Media” dengan mengambil benang merah tragedi AACC yang menurut Kania dan Teguh sebagai klimaks/pengukuhan akan citra tersebut, yang lalu diterjemahkan oleh KMF menjadi sebuah judul : “Diskusi Tragedi Beside: Pemberitaan di Media vs Realita”

Kemarin, 26 Maret ‘08, saya datang ke acara diskusi itu. Sebetulnya saya tidak begitu tertarik dengan tema tragedi Beside, namun saya pikir konseptor diskusi berhasil membuatnya menarik karena mengarahkan diskusi ke tema yang lebih dekat dengan anak-anak Fikom yaitu bagaimana media membuat konstruksi terhadap wacana musik underground di Indonesia, selain tentu saja diskusi tentang sejarah musik metal yang bertujuan untuk memberi pemahaman kepada penggemar metal, dan komunitas underground di Ujung Berung.

Saya pikir sudah umum dipahami (iya gitu?), apalagi buat anak-anak Fikom, bagaimanakah peran media itu? Intinya, saya sependapat dengan Idhar (reporter Ripple), bahwa media adalah biang kerok dari setiap konstruksi wacana. Dalam tragedi Beside, satu kejadian chaos yang merupakan sebuah kecelakaan - bukan disengaja- dikonstruksi menjadi sangat provokatif dan menyudutkan musik underground (terutama Metal). Ada yang menghubungkannya dengan satanis, ada yang menghubungkannya dengan miras dan lain-lain. Sebab musabab kematian 10 penonton konser dikait-kaitkan dengan mitos-mitos musik metal yang telah disediakan media, dibesar-besarkan media. Yah, memang sudah menjadi fitrahnya media kaya gitu bukan? Bisnis wacana. Perang bombastisitas. Karena dari situlah media nyari duit (tapi mungkin ada media yang benar-benar based on data, yang lebih cerdas melihat kejernihan masalah yang ada, saya nulisnya dalam kurung karena begitu ragu bahwa media kaya gitu ada, hehe).

Saya datang di pertengahan diskusi. Ketika itu yang sedang dibahas adalah tema di atas, tentang konstruksi media mengenai tragedi Beside. Saya cukup puas mendengarkan, karena Idhar menurut saya sudah sangat cool menjawab pertanyaan anak-anak jurnal yang haus tentang penjelasan etika pemberitaan, haha. Akhirnya diskusi sampai di sesi ketiga, sesi inilah yang paling menarik bagi saya. Addy ‘gembel’ (vokalis Forgotten) menjelaskan dengan cukup asik sejarah musik metal (Kalo ada yang penasaran dengan pemaparannya silakan hubungi Kania untuk minta soft copynya). Tapi yang paling membuat saya menarik adalah diskusi tentang homeless crew, komunitas underground di Ujung Berung itu.

Ketertarikan saya terutama tentang bagaimana komunitas musik metal dengan mitos-mitos yang kelam, bising, dan lain-lain seperti yang dijelaskan media, dan dikonstruksi oleh anggota komunitasnya sendiri berkembang di sebuah daerah yang kental dengan nuansa tradisional. Ujung Berung yang saya tahu adalah sebuah kawasan yang kaya akan nuansa tradisi. Ternyata, Addy ‘gembel’ bercerita bahwa justru komunitas underground sebagai anak zaman sekarang telah menjalin hubungan yang harmonis dengan desa-desa adat yang ada di Ujung Berung dan kaki gunung Manglayang. Adi bilang kalau ada desa adat yang bikin acara tradisi, komunitas underground selalu diundang, begitu juga sebaliknya, anak-anak underground mengundang para seniman tradisi untuk hadir di acara-acara mereka. Bahkan dengan begitu haru Adi bercerita, setelah tragedi di AACC, para seniman tradisi memberikan ucapan belasungkawa atas tragedi yang menimpa komunitas musik underground.

Kebersamaan itulah yang menurut saya begitu membanggakan. Sebuah usaha pihak-pihak yang termarjinalkan. Sebelumnya, Addy ‘gembel’ telah menjelaskan bahwa kemunculan komunitas underground adalah sebuah respon dari perubahan demografi dan sosiografi Ujung Berung pada akhir tahun 80an dan awal tahun 90an. Sebuah kekalutan identitas anak muda karena Ujung Berung yang sebelumnya begitu alami tiba-tiba berubah menjadi kawasan yang dipaksa modern dengan berdirinya pabrik-pabrik. Masyarakat lokal akhirnya terpinggirkan, karena pemenang dalam dunia industri selalu yang punya modal industri. Anak muda tak difasilitasi kreatifitasnya, begitu pula dengan kehidupan seni tradisi. Sepakat dengan Addy ‘Gembel’ bahwa anak-anak muda di komunitas underground dan para seniman tradisi sama-sama terpinggirkan oleh zaman.

Saya bertanya dalam diskusi itu, adakah perbenturan budaya antara gerakan underground dengan musik metalnya dengan masyarakat tradisi. Addy ‘Gembel’ bilang ada. Namun semuanya dapat diperbaiki dengan cara menjalin komunikasi yang intensif dengan masyarakat tradisi. Kerennya, justru anak-anak metalnya sendiri yang berinisiatif mencari sesepuh-sesepuh adat di Ujung Berung untuk menjalin silaturahmi. Seiring dengan terjalinnya silaturahmi, saling pengertian pun tercipta. Kesinisan selalu muncul dari ke-saling tidak pengertian.

Ketika bertanya, saya memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota dari komunitas underground di Jatinangor yaitu ‘Sanggar Seni Motekar’. Tentu Addy ‘Gembel’ paham kenapa saya bilang ‘Sanggar Seni Motekar’ adalah komunitas underground, karena jika pengertian underground adalah sebuah gerakan di bawah yang tidak ikut arus mainstream karena pemarjinalan, maka sanggar seni Motekar tempat saya mengabdikan diri adalah sebuah komunitas underground. Seniman tradisi sama-sama terhimpit ruang ekspresi dan ruang ekonominya karena ruang-ruangnya direbut oleh pendatang-pendatang baru, buah karya perkembangan zaman. Mereka menjadi marjinal karena di tengah gegap gempitanya wacana untuk mempertahankan budaya lokal oleh pemerintah, realisasinya tetap nihil. Sanggar Motekar dengan Jaipongnya kalah oleh organ tunggal, Sanggar Motekar dengan tari klasik dan Cikeruhannya kalah oleh dangdutan. Namun Sanggar Motekar tetap bertahan, dengan segala daya upaya dari orang-orang di dalamnya yang tetap menjaga asa.

Hal di atas saya jelaskan seusai diskusi, karena sesaat diskusi berakhir, datang pada saya seorang berpakaian hitam-hitam, rambut gondrong dengan kumis, jambang, dan jenggot yang garang. Namun, dia memperkenalkan diri dengan sangat someah, “Man” katanya. Dia memberikan imbuhan ‘Jasad’ pada namanya. Oh, dia personil band metal Jasad ternyata. Dia banyak ngasih masukan buat saya dan Sanggar Motekar. Katanya, mendingan sanggar bikin media sendiri untuk menyebar wacana. Betul, itu dia yang belum kita lakukan, saya akan langsung merespon ide kang Man ‘Jasad’ itu ke orang-orang di Sanggar. Saya kira tidak terlalu sulit, karena empunya Sanggar Motekar, Pak Supriatna, dan anaknya, Ceuceu, adalah penulis di Majalah Mangle dan Cupumanik. Saya kepikiran bikin newsletter atau fanzine fotokopian, murah meriah seperti yang sering saya lakukan. Man ‘Jasad’ juga berjanji akan menyebarkan keberadaan Sanggar Motekar ke komunitas sejenis di Ujung Berung. Dia juga meminta kabar jika Sanggar Motekar melakukan kegiatan. Man ‘Jasad’ juga menyarankan agar Sanggar Motekar menggelar acara rutin meski kecil-kecilan agar eksistensinya tetap terpelihara atau justru meningkat. Sampai sekarang, yang rutin di Sanggar adalah Gunem Catur alias diskusi. Saya pun berjanji akan memberi kabar pada anak-anak metal Ujung Berung jika Sanggar Motekar mengadakan kegiatan.

Menyenangkan, melihat begitu dalamnya orang-orang berbaju hitam dan sangar itu pada masalah-masalah yang begitu berbeda dari penampilannya. Ini dia yang bermutu! Ini dia yang keren! Mungkin fashion mereka terjebak dalam gaya tertentu, tapi tidak pemikiran. Man ‘Jasad’ dan Addy ‘Gembel’ jelas-jelas memahami konteks kepentingan dari gerakannya, bukan untuk membunuh suatu wilayah ekspresi yang lain, tapi untuk saling membantu. Man ‘Jasad’ begitu marah pada pemerintah yang tidak pernah mengindahkan para seniman tradisi, kampung-kampung adat, dan kearifan lokal. Usaha untuk memahami konteks dimana ia bergerak, membuat Man ‘Jasad’, Addy ‘Gembel’ dan mudah-mudahan semua teman-teman komunitas underground di Ujung Berung menjadi tidak egois, tapi justru keberadaan mereka menjadi “rahmatan lil’ alamin”. Oia, gerakan underground di Ujung Berung juga berkembang ke arah industri kolektif yang keren, seperti clothing company, sablon menyablon, rental studio, dan lain-lain. Gerakan ini membantu mengurangi angka pengangguran disana. Hidup akhirnya lengkap jika wilayah ekspresi sejalan dengan ekonomi, sempurna jika segalanya dilakukan dari hati.

Salut untuk teman-teman di Ujung Berung. Untuk segala usaha mandiri dan untuk terus tidak menyerah. Salut untuk kebersamaannya dengan seniman tradisi, dan segala usahanya untuk menyelaraskan diri. Saya ambil pelajaran cukup banyak kemarin, pompaan semangat yang membuat saya berbinar karena merasa tidak sendiri, bahkan merasa bahwa saya masih amatir, mereka telah melakukannya lebih dulu dan lebih berliku. Saya di Sanggar Motekar baru kemarin sore.

Untuk Kania dan Teguh dan teman-teman KMF, well done! Ayo bikin lebih banyak lagi kegiatan bermutu di kampus kita yang sepi jempling ini. Teman-teman yang lain juga, ukm-ukm yang lain, bahkan komunitas saya sendiri (Ventilasi dan Ruang Studi Jatinangor) ayo riuhkan kampus kita. Biar gaduh dan pecah seluruh kacanya, hahaha.

1 comment:

  1. maaf, salam kenal. saya Kania, cuma ingin bertanya, kenapa di tulisan ini tidak dicantumkan nama penulis aslinya yaitu Luthfi Adam? Blog ini dibuat Luthfi Adam sesaat setelah diskusi metal itu saya selenggarakan tepatnya Mei 2008*saya Kania yang diceritakan di blog ini* dimuat di blog multiply Luthfi Adam bertitel artisserbabiasa(d zine ini dipost pada Jan09)...saya dari tadi mencari-cari sumber atau nama penulis asli tapi tidak menemukannya...terima kasih...

    mohon ditinjau kembali..

    ReplyDelete