Saturday, January 24, 2009

"Underground" Dibatasi

Tragedi tewasnya 11 penonton dalam konser musik underground di Asia Africa Cultural Centre (AACC), 9 Februari lalu berbuntut panjang. Komunitas underground merasa semakin terkekang, karena perizinan dan ruang mereka untuk berekspresi semakin berkurang. "Sebagai pelaku industri musik, kami seperti diikat. Ruang kami sudah sempit, sekarang makin dipersempit," kata Eben (31), gitaris grup band BurgerKill (BK) sebelum acara diskusi dan nonton bareng komunitas underground di Common Room, Jln. Kyai Gede Utama, Bandung, Minggu (2/3).

Eben mengatakan, pascakejadian di AACC, BK sudah mengalami dua kali pembatalan konser. BurgerKill seharusnya tampil sebagai band pembuka konser band metal asal Jerman, Helloween, di Tennis Outdoor Senayan Jakarta, Jumat (22/2). "Sehari sebelum acara berlangsung kita dapat selembar faksimile dari EO yang salah satu poinnya menyatakan BK dilarang main mengingat masalah keamanan. Hal tersebut atas rekomendasi aparat keamanan, Mabes Polri dan Polda Metro Jaya," ungkap Ramdan, basis BK. Sampai saat ini, BK mengaku belum juga menerima surat langsung dari kepolisian Jakarta tentang larangan tersebut.

Hal yang sangat dikhawatirkan Ramdan adalah jika larangan tampil tersebut menjurus pada diskriminasi terhadap komunitas underground Bandung. "Sampai sekarang kita masih menunggu surat dari kepolisian Jakarta. Kita ingin lihat poin-poin isi suratnya," kata Ramdan.

Para personel BK menurut Eben, kecewa dengan batalnya penampilan mereka di Jakarta. "Pernyataan lisan EO adalah rekomendasi dari aparat, sehingga beberapa band Bandung dan Jakarta dilarang tampil," ujar Eben. Selain batal manggung membuka konser Helloween, BurgerKill juga batal tampil dalam sebuah acara komunitas underground di Jakarta, Minggu (24/2).

Menurut Eben, selain BK dan Beside, ada beberapa band underground asal Bandung dan Jakarta yang juga merasa "dipersulit". "Penampilan kami di salah satu SMA di Bandung juga masih belum jelas karena panitia menunggu keputusan kepolisian," tutur Eben.

Ungkapan senada juga disampaikan Ari (31), Ketua Begundal Hell Club, komunitas penggemar Burgerkill yang menyelenggarakan acara diskusi dan nonton bareng tersebut. Menurut dia, izin untuk mengadakan acara-acara berbau underground semakin sulit didapat. "Jika pun mendapat izin, pasti harus menunggu lama. Acara nonton dan diskusi seperti ini saja izinnya butuh waktu dua minggu," ungkapnya.

Keadaan ini menurut Eben bisa menghambat kreativitas komunitas mereka. "Sebagai komunitas musik, kita tidak bergerak sebatas konser saja. Tetapi juga mengadakan acara lain seperti pameran lukisan dan poster, nonton bareng, serta diskusi seperti ini," ujar Eben.

Eben dan Ramdan, mengaku tragedi AACC merupakan pukulan berat, tidak hanya untuk aparat keamanan, tetapi juga bagi para pemusik. "Kalau aparat semakin hati-hati, kita bisa mengerti. Kita semua juga trauma atas kejadian itu. Tetapi semoga tidak mempersulit dan menghambat kreativitas komunitas kami," kata Eben.

"Keadaan ini tidak akan membuat kami berhenti berkarya. Kalau sulit konser, kami akan adakan acara lain seperti diskusi atau lainnya dalam komunitas kami, sekaligus mencoba menghapus stigma negatif tentang komunitas underground," kata Ramdan menambahkan.

Nonton bareng dan diskusi komunitas underground tersebut dihadiri oleh para personel BK, puluhan anggota BHC, serta komunitas Ujung Berung. Hadir sebagai pembicara dalam diskusi, Idhar Remadi (pengamat musik underground) dan serta Gustaf H. Iskandar (Common Room).

Dalam kegiatan itu disajikan film dokumenter tentang komunitas metal di luar negeri berjudul "Metal: A Head Banger`s Journey". Masalah yang diangkat dalam diskusi adalah masalah tragedi AACC dan imbasnya pada komunitas underground, penyelenggaraan acara yang baik, serta perbandingan masalah keseharian komunitas underground di Bandung dengan yang ada dalam film tersebut. (

Mataram Underground Community


Scene UnderGround di Mataram telah ada kira-kira sejak tahun 1996 dimana Komunitas Punk dan Hardcore juga terdapat di dalamnya bersama genre-genre musik bawah tanah lainnya yang tidak akan saya bahas panjang-lebar, Gigs terbesar Underground pertama di Mataram adalah “ Lombok Underground I “ yang di ikuti dengan “lombok Underground II dan III “ dimana band-band Punk Hardcore ikut serta berpartisipasi di dalamnya menunjukan ke-exsisan mereka, walaupun kebanyakan Gigs-gigs Underground di Mataram pada saat itu di dominasi oleh band-band beraliran Death-Grind dan Metal tetapi band-band Punk Hardcore yang ada tidak pernah absent di setiap Gigs Underground yang ada walaupun kebanyakan acara Underground di Mataram diselenggarakan oleh orang-orang Metal dan sejenisnya dan banyak mendatangkan band2 Underground dari luar Lombok.

Kira-kira pada akhir tahun 1999 lahirlah sebuah komunitas Punk pertama yang diberi nama “Punk Dame Comunitty” yang menyatukan komunitas Punk di Mataram bagian barat yang mempunyai misi untuk menyatukan semua komunitas Punk di Mataram yang tealah ada dan mempunyai misi untuk mengadakan Gigs Pure Punk dengan jalan D.I.Y walaupun misi mereka tidak berjalan lancar sesuai harapan sampai sekarang.

Akhirnya acara Garasi Punk & Hardcore di Mataram lahir juga kira-kira pada tahun 2000 yang diadakan oleh segelintir komunitas Punk & Hardcore yg menamakan dirinya dengan “Unity Project” yang melabelkan acara mereka dengan nama “ Black Valentine “, jadi Black Valentine adalah Gigs murni pertama yang diadakan oleh komunitas Punk dimataram secara D.I.Y, gigs ini berkonsep musik garasi karena gigs ini diadakan di garasi kecil dan sedikit halaman milik Unity Studio yg lumayan bisa menampung kalian untuk moshing, poggo, headbang dll kemudian gigs-gigs -murni punk-murni diselenggarakan oleh komunitas punk pun mulai lahir di dilanjutkan dengan gigs-gigs punk berkonsep garasi sejenisnya seperti Gigs “ Hidup Buruh Hidup Rakyat, Musik Gerilya 1 & 2, Seruan Perdamaian dll “.

Scene di Lombok khususnya Mataram banyak yg menganut idealisme street punk dengan konsep D.I.Y sisanya lagi terdiri dari komunitas yang menyukai musik skateRock, Hardcore, Melodic, rockabilly dll. Walaupun paham sedikit berbeda tetapi mereka tetap bersatu merasa masih satu darah satu botol di bawah bendera Punk demi menunjukan bahwa mereka masih tetap exsist. Ke exsisan komunitas punk banyak di dukung oleh adanya distro-distro Underground di Mataram seperti ‘Lombok Hardcore distro, RockCity distro dll”. Distro-distro inilah yang kadang2 memfasilitasi 40% bahkan sampai 90% dari setiap Gigs-gigs yang ada di Mataram.

Bandung Undergound Saat Ini: Militansi dan Potensi Komunitas

Satu hal yang perlu dicermati mengenai eksistensi komunitas underground Bandung yaitu semangat militansi untuk terus mencari ruang ekspresi. Pergeseran budaya militansi yang sempat hilang dalam komunitas underground dan tergantikan dengan banyaknya sistem nilai ekonomi membuktikan bahwa semangat yang telah hilang ini bisa menjadi solusi pemecahan untuk eksistensi komunitas underground itu sendiri. Karena bagaimanapun komunitas ini awalnya hidup dari semangat militansi untuk membuat potensi berkreativitas tetap hidup, meski seringkali terhambat oleh halangan birokrasi yang ada.

Pasca tragedi AACC, eksistensi komunitas underground seperti hilang ditelan bumi dengan minimnya konser berlangsung akibat sulitnya memperoleh izin dan kurangnya venue representatif. Kini semangat untuk tetap militan yang membuat eksistensi komunitas ini terus hidup bernafas.

Konser yang dibikin ilegal, menjadi salah satu jiwa militansi komunitas underground tetap hidup berekspresi saat ini. Tentu saja ilegal dalam konteks ini berarti tanpa perlunya perizinan birokrasi dan segala tetek bengek administrasi. “Dari awalnya juga komunitas underground ini kan bermodalkan semangat militan. Apalagi ketika adanya tindakan represif dari pihak pemerintah dan birokrat, semangat militansi itu semakin muncul. Jika konser musik underground dilarang, kenapa kita tidak bikin konser secara ilegal saja. Jadinya semangat militansi itu yang muncul. Sederhananya yang penting konser jadi dan komunitas tetap berkarya, “ ujar Addy Gembel, vokalis band metal Forgotten yang seringkali terlibat dalam beberapa konser ilegal.

Menurut Addy, fenomena konser ilegal memang seringkali dibikin oleh komunitas underground bahkan jauh sebelum Tragedi AACC terjadi. Biasanya fenomena ini muncul ketika adanya keribetan dalam paparan birokrasi. “Yang penting konser jadi. Dibikin secara sederhana pun sudah oke, karena tujuan sebenarnya menjadikan konser itu sebagai media komunikasi antar komunitas. Tidak berpikir sebagai sistem ekonomi yang mesti ada profitnya,” lanjut Addy menambahkan.

Sebut saja Kampus UPI, UNPAR, ITENAS, Studio Gramma, Studio Jawara, Villa Putih Lembang, Student’s Cafe Taman Sari yang senantiasa menjadi venue alternatif untuk menyelenggarakan konser ilegal. Bagi komunitas underground ini tempat kecil dan pengap juga tidak masalah. Perihal sound system seadanya juga bukan hal yang patut dipikirkan. Bahkan dibikin secara patungan untuk bayar sewa tempat dan sound pun menjadi hal yang lumrah. Karena bagi mereka rasa persatuan komunitas yang lebih diutamakan. “Yang penting komunitas eksis aja dulu,” ujar Themfuck, vokalis band punk Jeruji yang seringkali tampil di Villa Putih Lembang. Venue tersebut menjadi salah satu langganan komunitas punk untuk menggelar konser. Bahkan tempat Villa Putih seringkali menjadi pilihan ketika ada band punk internasional yang mau manggung di Bandung yang dibikin tentu saja dalam skala terbatas.

Komunitas metal pun tak jauh beda. Apalagi komunitas metal ini tengah banyak disorot membuat eksistensi komunitas ini seolah sulit bergerak untuk menemukan ruangnya. “Pasca Tragedi AACC, ketika komunitas metal sulit mendapatkan panggung, kita pernah bikin konser ilegal di basemen Kampus Itenas dan kerjasama dengan mahasiswa setempat,” ujar Addy Gembel.

“Kita pernah bikin acara konser metal di Rancaekek. Dan rencananya kita bakal bikin konser ilegal secara rutin di tempat tersebut,” ujar Amenk, vokalis band metal Disinfected yang sering menginisiasi konser ilegal. Saat ini komunitas-komunitas underground lebih memilih tempat yang jauh dari pusat kota, seperti halnya Lembang atau Rancaekek. Apalagi belum adanya tempat representatif di kota Bandung dan berbelitnya proses birokrasi membuat komunitas underground menggeser ruang ekspresinya di pinggiran Kota Bandung.

Namun, tak lantas konser ilegal jadi semacam jalan keluar yang pasti. Rasa takut yang muncul akibat adanya pembubaran paksa atau protes warga setempat bisa jadi masalah bagi semangat militansi yang terus meluap. “Rasa takut atau perasaan khawatir selalu ada. Takut lagi enak-enaknya menikmati konser tiba-tiba dibubarin kan jadi hal yang tidak kita inginkan,” ujar Yongky yang pernah membuat konser musik hardcore/punk secara ilegal di basement Student’s Café Taman Sari. Yongky menambahkan, sempat ada protes warga perihal konser tersebut akibat adanya salah komunikasi. Apalagi konsernya itu dibikin di daerah pemukiman padat.

“Sebenarnya birokrasi masih agak ribet kalau mau bikin acara secara legal. Tapi asal sesuai prosedur yang disepakati oleh pihak berwajib, sebenarnya izin pasti turun dan gratis pula,” tutur Reza Ferdian, Ketua Panitia event organizer Sodom Movement yang mendatangkan band punk rock asal Inggris, Extreme Noise Terror beberapa waktu lalu.

Menurut Addy Gembel, jika saja tidak adanya kemacetan di level birokrasi dan pihak-pihak tertentu yang bisa mengakomodir komunitas underground sebagai potensi berkreativitas yang layak, bukan lantas memusuhi segala bentuk ekspresi komunitas underground. Apalagi konser ilegal di Studio Gramma pernah dibubarkan oleh pihak berwajib. Addy menambahkan bahwa dengan pembubaran konser ilegal menjadi sesuatu yang kontra-produktif. Justru seharusnya potensi kreativitas ini yang semestinya diakomodir. Jika semakin dikekang, komunitas ini bisa semakin militan.

Sayangnya, semangat militansi komunitas underground saat ini tidak merambah pada infrastruktur komunitas underground macam zines, indie label, event organizer (EO), dll. Padahal infrastruktur seperti itu bisa menjadi indikasi positif mengenai perkembangan komunitas underground. Minimnya zines bisa jadi salah satu indikasi betapa ada satu sistem yang salah dalam komunitas underground saat ini.

Kimung, editor zines Minorbacaankecil berpendapat, “Perkembangan zines di Bandung saat ini kurang banget. Sangat sedikit zines yang eksis. Padahal zines bagus untuk membangun sense of belonging dalam sebuah komunitas”. Kimung menambahkan ada semacam sistem dalam komunitas underground yang hilang saat ini. “Kalo melihat dari sejarahnya kan pengembangan komunitas itu ada langkah-langkahnya kayak ngumpul, ngobrol, diskusi, bikin zines, rekaman, bikin indie label, bikin konser, dsb. Nah, langkah-langkah itu ada yang hilang, salah satunya pembuatan zines tersebut,” lanjut penulis buku Myself Scumbag ini.

Semangat militansi yang hilang, menurut Kimung, bisa diakibatkan masalah kurangnya kesadaran dari para pelaku komunitas underground. Salah satunya mengapa lemahnya infrastruktur dalam komunitas underground saat ini kurangnya kesadaran untuk berbagi informasi antara komunitas satu dengan komunitas yang lain lewat jejaring yang dibangun. Padahal dengan adanya media komunikasi seperti zines bisa membangun keberlansungan komunitas ke arah yang lebih kuat.

Potensi Komunitas

Selain militansi, satu potensi komunitas underground Bandung saat ini yang dimiliki yaitu kekayaan komunitas yang ada didalamnya. Beragam komunitas yang dibangun menunjukkan satu potensi berkreativitas yang lebih kaya. “Bandung memiliki beragam komunitas underground. Beragam komunitas lebih bersifat komunal, dan kedepannya diharapkan bisa bersatu. Contohnya, kayak Helar Fest yang menyatukan berbagai komunitas di Bandung. Semangat persatuan ini yang dibutuhkan agar potensi berkreativitas Bandung menuju ke arah lebih baik. Mungkin bakal ada konflik, tapi itu bakal menciptakan komunitas lebih kritis, hidup, dan ramai,” ujar Kimung menjelaskan.

Komunitas-komunitas underground macam punk, hardcore, metal, pop, elektronik, dll. mulai rutin menggelar konser musik. Setelah sebelumnya seolah mati suri akibat kekangan birokrasi dampak dari Tragedi AACC. Komunitas-komunitas yang kian banyak dan solid ini bakal menumbuhkan suatu potensi berkreativitas yang kaya.

Komunitas musik elektronik, Openlabs misalnya, rutin menggelar acara musik elektronik di Prefere Café tiap awal bulan sejak dua bulan lalu, “perkembangan musik elektronik Bandung juga semakin banyak. Kayak even Electric Youth yang sudah jadi acara regular tiap awal bulan di Prefere Café. Open Labs sendiri memiliki jadwal acara regular bernama The Ostend tiap tiga bulan sekali,” tutur Okky Raditya, pegiat komunitas elektronik Open Labs. Salah satu agenda berikutnya komunitas ini yaitu event Nu-Substance, yang jadi salah satu agenda helatan akbar Helar fest. “Tujuan dari Nu-Substance sendiri pengen memberi tahu pada mata dunia internasional tentang potensi Bandung sebagai kota kreatif terutama dalam bidang musik elektronik, namun secara tujuan atau misi kita khususnya pengen mengedukasi masyarakat soal musik.Yah, meningkatkan apresiasi masyarakat terhadap musik elektronik,” sambungnya.

Komunitas-komunitas lainnya pun tak mau kalah. Komunitas musik grunge atau komunitas Purna mulai rutin menggelar konser launching album di Twank Café. Kemudian komunitas death-metal atau komunitas Bandung Death Metal Sindikat (BDSM) yang juga bagian dari komunitas Ujungberung Rebels bakal menggelar konser musik death-metal akbar bernama Deathfest untuk ketigakalinya. Acara Deathfest sendiri masuk dalam agenda Helar Fest.

“Kita ingin memadukan tradisi sunda dengan musik death metal. Karena zaman sekarang tradisi lokal dilupakan oleh anak-anak muda saat ini. Membawa kreativitas dan kearifan lokal lebih berbicara banyak,” ujar Okid, salah satu pegiat komunitas Bandung Death Metal Sindikat dan panitia Deathfest.

Untuk membuat potensi komunitas underground tetap hidup salah satunya yaitu regenerasi di dalam komunitas itu sendiri. Regenerasi antar pelaku-pelaku di dalam komunitas underground pun perlu dilakukan. “Komunitas punk terus bergerak dan berkembang. Yang manggung di Villa Putih pun tak hanya didominasi band lama, tapi banyak band punk baru yang sudah mulai tampil,” ujar Themfuck Jeruji menjelaskan. Hal yang sama pun terjadi di komunitas metal. “Saat ini komunitas Ujungberung Rebels sedang membuat kompilasi musik death metal, ‘Panceg Dina Jalur’ yang berisikan 22 band lama dan band baru. Tapi didominasi oleh band-band metal generasi saat ini. Banyak baru yang potensial. Mereka hanya kurang mendapat perhatian saja, untuk eksisnya pun hanya mengandlakan konser ilegal, Do It Yourself (DIY) di studio-studio,” papar Man, vokalis band metal Jasad.

Perpaduan antara militansi dan potensi komunitas menjadi salah satu bukti bahwa komunitas underground Bandung ini terus mencari ruang ekspresi, tanpa mempedulikan batu-batu kerikil yang mungkin mengganggu perjalanan mereka. Jika pada era 90-an komunitas underground bersifat militan karena dipengaruhi oleh kondisi sosial politik saat itu, kini sifat militansi muncul akibat kebebasan berekspresi yang dinginkan oleh komunitas underground tanpa ada batasan dan kekangan.

“Kayak ada semacam sejarah berulang soal militansi dan potensi komunitas underground saat ini dengan era sebelumnya. Namun zaman sekarang sama zaman dulu cuman beda budayanya saja,” ujar Kimung. Sementara Addy Gembel menambahkan, “ fenomena ini mirip perputaran pertengahan tahun 90-an. Ketika kita kesulitan untuk mengakses sesuatu, justru militansi yang semakin timbul. Potensi komunitas underground pun semakin banyak dan kian solid.”

GOTHIC

Bahasa Gothic (*gutiska razda) adalah sebuah bahasa Jermanik yang sudah punah dan dipertuturkan oleh bangsa Goth dan terutama kaum Therving.

Bahasa ini terutama diketahui dari Codex Argenteus, sebuah salinan naskah dari abad ke-6 dari naskah asli yang berasal dari abad ke-4 dan merupakan sebuah terjemahan Alkitab.

Naskah ini merupakan satu-satunya bahasa Jermanik Timur dengan korpus yang besar. Yang lain-lain, termasuk bahasa Burgundia dan bahasa Vandal hanya diketahui, itupun jika bisa, dari nama-nama pribadi saja yang tercatat pada laporan sejarah. Sebagai sebuah bahasa Jermanik, bahasa Gothic merupakan bagian dari rumpun bahasa Indo-Eropa.

Bahasa ini merupakan bahasa Jermanik yang tercatat paling awal, namun tidak memiliki turunan modern. Dokumen tertua dalam bahasa Gothik berasal dari abad ke-4. Bahasa ini menjadi merosot semenjak pertengahan abad ke-6, antara lain karena kekalahan militer kaum Goth oleh kaum Frank, eliminasi kaum Goth di Italia, masuknya kaum Goth secara missal ke agama Katolik Roma (sebelumnya mereka beragama Arianisme), dan keterpencilan geografis.

Bahasa ini bisa hidup sampai abad ke-8 di Spanyol dan penulis Frank Walafrid Strabo menulis bahwa bahasa ini masih dipertuturkan di daerah Donau hilir dan beberapa tempat pegunungan terpencil di Semenanjung Krim pada awal abad ke-9.

Keberadaan korpus-korpus yang cukup awal ini membuat bahasa ini sangat penting dalam ilmu perbandingan bahasa. Nama asli bahasa ini tidak diketahui namun rekonstruksi *gutiska razda didasarkan pada Jordanes Gothiskandza, dibaca sebagai gutisk-andja, “akhir (atau batas) Gothic”. Sementara itu razda “bahasa” ditemukan pada misalkan Matius 26:73.
Idealisme

Keluasan makna dari kata ‘idealisme’ memang tidak bisa dipungkiri apalagi jika berkaitan dengan nilai popularitas, uang, dan kekuasaan. Tak salah kiranya dalam realitas kehidupan idealisme runtuh oleh realisme yang terus menghujam tanpa henti dalam setiap sendi kehidupan kita.

Dalam konteks musik pun ‘idealisme’ memegang peranan yang vital sehingga membentuk komunitas-komunitas dan aliran-aliran yang bertebaran di seantero jagat raya ini.

Di Indonesia khususnya banyak grup-grup musik yang memiliki nilai idealisme yang dibarengi dengan nilai perfeksionis bahkan me’label’kan dirinya menjadi komunitas ‘underground’ yang notabene mendapatkan sorotan tajam akibat aksi-aksinya yang brutal, tak beraturan, chaos, dan penuh dengan kondisi emosi tak sadar.

Di sisi lain munculnya komunitas ‘underground’ ini menjadi santapan lezat kaum hedonis yang menjadikan komunitas ini sebagai batu loncatan untuk mencari popularitas dan uang sehingga nilai ‘idealisme’nya berubah menjadi ‘idealisme uang dan ketenaran’. Mengapa? Silakan nilai sendiri bagaimana sejarah ‘underground’ lahir dan memiliki cita-cita untuk memajukan kaum proletar yang ingin berekspresi dengan bebas dan lepas dari kekangan ‘tikus-tikus produser dan label’ karena aturan-aturan yang membatasi ekspresi jiwa.

Banyak kiranya grup band di Indonesia yang dulunya lahir dan berkembang dari komunitas ‘underground’ dan ‘indie’ -sekarang merubah seluruh atribut-atribut kebebasannya hanya untuk mendapatkan nilai ketenaran dan kekayaan dengan melepas kebebasan berekspresinya.

Contoh yang sedang hot saat ini ialah kondisi Prisa yang notabene dulu merintis karier bermusiknya dari grup band Zala hingga Deadsquad yang beraliran Metal
prisa-with-black.jpg

Prisa saat ini melepas semua atributnya hanya untuk melambungkan dan makin melambungkan ketenarannya dengan menjual sisi lain dari dirinya untuk merubah image yang selama ini melekat (Miss Gitaris) band Metal dengan melakukan side project bersama rekan-rekannya di Morning Star dan sebelumnya tampil di muka umum dengan band Major Label J-Rock yang murni plagiat musik Japanese Rock (L’arc en Ciel) serta yang paling anehnya Prisa kembali tampil di bazzar SMUN 2 Bandung bersama grup band Metal Killed by Butterfly

Ada apakah gerangan?

Itulah konsistensi dan idealisme dalam hidup yang terkadang selalu digoda oleh hujaman keinginan sesaat dan semu demi untuk mencapai nilai ketenaran dan kekayaan yang semu juga. Dikenang sebagai musisi yang cerdas namun miskin dalam pencapaian hidup karena ‘menjual’ idealismenya dengan suatu hal yang belum tentu bernilai sama dengan idealisme awal.

Ironis memang, namun itulah wajah musik Indonesia dimana kalangan proletar (dalam konteks musik) hanya akan dijadikan batu loncatan untuk meniti karir musisi-musisi hedonis yang tidak akan pernah memahami ‘core’ musik dan sejarah komunitas itu dibentuk

So, Prisa secara gamblang saya katakan bahwa kekecewaan yang mendalam hadir dalam sanubari saya sebagai salah satu dari banyak orang ideal dan perfeksionis dalam dunia musik khususnya ‘underground’ bahwa musik bukanlah hanya sekedar ’style’ namun lebih bersifat ‘culture’ jadi -don’t be emo- apalagi jadi ‘poseur’

‘Culture’ bukanlah sesuatu hal yang dibuat dengan instan dan mudah karena lahir dari suatu pemikiran, kebiasaan dan kebebasan berekspresi

‘Cuture’ lebih bersifat tematik dan disilusionis karena akan betul-betul membentuk jati diri dan kepribadian kita sebagai manusia.

Saat ini hanya Prisa yang menjadi perhatian saya karena ia masih muda dan masih bisa merubah idealismenya kembali menjadi ikon Metal khususnya untuk kaum Hawa’ namun semuanya saya kembalikan kepada pribadinya
Multi Massive Underground Community
Kota Bandung banyak menawarkan sejuta gagasan cerdas bagi kemajuan pergerakan musik nasional. Talenta-talenta unik dan baru selalu muncul dari kota sejuk yang memiliki julukan ‘Parijs Van Java’ bahkan kota ini menjadi barometer rock underground di Indonesia dan menempati posisi ke-5 komunitas terbesar di dunia. Kontribusi musik underground Bandung pun telah mendorong sektor-sektor perekonomian lokal melalui clothing-clothing dan distro-distro yang menjadi katarsis bagi dunia kreatifitas.
Tak sekedar style yang ditawarkan melalui dandanan yang berkesan chaos dan tak lazim namun lantunan chord-chord nada yang relatif sulit dicerna, memekakkan telinga orang-orang awam yang tidak memahami core pesan dari komunitas ‘low cost marginal’ ini hingga idealisme pergerakan yang mendobrak kondisi musik-musik mainstream.
Stigma negatif yang melekat pada komunitas underground seperti alkohol, drugs hingga kekerasan dalam ekspresi dan aktualisasi diri menuntun media-media massa pra-millenium ‘alergi’ menayangkan kegiatan-kegiatan komunitas ini.
death.jpg

Wendi Putranto sebagai Editor majalah Rolling Stones Indonesia pernah mengangkat sejarah singkat pergerakan rock underground Indonesia melalui tulisan-tulisannya sehingga Indonesia menjadi satu-satunya negara di Asia Tenggara selain negara-negara Asia lainnya seperti Jepang, Korea Selatan dan Cina yang masuk dalam film sekuel “Metal Headbangers Journey” karya sutradara asal Kanada.
Di Bandung sendiri komunitas Ujung Bronx (baca: Ujung Berung) atau sekarang lebih dikenal sebagai Ujung Berung Rebels menjadi episentrum pergerakan underground Metal karena telah membesarkan beberapa band seperti Jasad, Forgotten, Sacrilegious, Sonic Torment, Morbus Corpse, Tympanie Membrane, Infamy, Burger Kill, Hell Gods, Deicide, Rotten to The Core, Full of Hate dan lain sebagainya bahkan hingga saat ini komunitas Ujung Berung Rebels tak pernah berhenti menciptakan dan membesarkan band-band ternama bergenre Metal.
Peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ saat Launching album band Beside yang bertitel ‘Againts Yourself’ (09/02) di AACC yang memakan korban jiwa sebanyak 11 orang ABG sontak mengagetkan berbagai pihak, tak terlepas orang-orang yang terlibat dalam komunitas underground Bandung karena sepanjang perjalanan komunitas underground Bandung tak pernah terjadi peristiwa yang memilukan terlebih pemberitaan-pemberitaan media massa yang telah membunuh karakter komunitas underground dengan semakin mengidentikkan stigma negatif alkohol, drugs dan kekerasan padahal dalam kenyataannya stigma negatif ini notabene melekat kuat pada komunitas-komunitas lain seperti dangdut, pop dan cinta.
Berbagai kasus kematian yang mengiringi pergelaran konser band Ungu, Sheila on 7 dan pergelaran konser musik dangdut seolah-olah tersamarkan akibat sorotan tajam yang ditujukan kepada komunitas underground melalui propaganda-propaganda miring sehingga semakin mengukuhkan reaksi pemerintah daerah setempat untuk mengasingkan komunitas underground Bandung yang notabene telah mengharumkan kota Bandung menjadi barometer musik rock underground.
Pembunuhan karakter melalui publikasi universal semakin mempersulit komunitas underground menggelar kegiatan-kegiatannya karena perihal perizinan yang dipersulit dan perubahan kebijakan yang berkenaan dengan harga sewa yang tak sebanding dengan modal.
Masyarakat Bandung tentu mengenal GOR Saparua yang menjadi venue legendaris komunitas underground Bandung dan bagaimana masa keemasan di era pertengahan 90-an, underground mewabah Bandung dan memberikan tempat bagi kreatifitas dan aktualisasi yang tentunya tak memakan korban jiwa. GOR Saparua menjadi sulit untuk diraih sehingga proses gerilya tempat pun dilakukan hanya untuk mencari alternatif tempat mulai dari AACC, YPK Naripan, Dezon, Parahyangan Plaza, kampus STSI, kampus UNPAS Setiabudi. Namun kesemuanya tentu tak senyaman GOR Saparua yang notabene ‘eksklusif’ dan tak mengganggu masyarakat umum. Dago Tea House (Taman Budaya Dago) seakan-akan juga berpotensi mengalami penutupan akibat tragedi ‘Sabtu Kelabu’ yang notabene menjadi alternatif terbaik saat ini bagi pergelaran musik underground.
Hentakan bertempo tinggi, kerapatan ketukan bass drum dan rimshot snare drum yang mengundang kebisingan, membuat degup jantung semakin kencang hingga spontanitas pergerakan adrenalin yang dituangkan dalam pogo, headbang dan moshing tentu masih terbayang dalam benak kita bahwa kesemuanya bukanlah bukti ‘kriminal’ untuk menyudutkan komunitas underground sebagai parameter stigma negatif alkohol, drugs dan kekerasan karena saat acara usai, ketertiban suasana terjadi diiringi acungan kepalan tangan dan riuhan pujian sebagai bentuk penghargaan kepada para musisi yang mampu memuaskan ekspresi jiwa dan tidak berbuntut panjang hingga ke luar arena.
Bukti masa lampau yang seharusnya memberikan gambaran jelas bahwa aktualisasi dan ekspresi dalam mengakomodir fasilitas-fasilitas tidak berkelanjutan menjadi bentuk ‘anarkis’ di luar acara.
Pembatasan dan penutupan areal bergerak komunitas underground bahkan akan semakin menyulut aksi yang berpotensi ‘chaos’ dan membuktikan bahwa peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ bukanlah peristiwa yang akan atau mesti terulang di kemudian hari.
Media massa pun harus fair menilik suatu peristiwa dan tak menyudutkan salah satu komunitas dengan stigma negatifnya karena penyebab peristiwa ‘Sabtu Kelabu’ tidak didasarkan atas penilaian stigma negatif yang melekat erat pada komunitas underground. Tetapi lihatlah pergelaran kegiatan komunitas lainnya yang notabene melantunkan alunan nada yang mendayu-dayu, penuh kepalsuan dan ‘murah’ dalam subtansi makna. Aneh tapi nyata, kerusuhan dan perkelahian terjadi akibat ’self control’ yang lemah dan tidak wajar karena anda hanya tinggal duduk atau berdiri dan diam mendengarkan.
angel-11.jpg
Kekuatan ’self control’ dalam komunitas underground memiliki perspektif yang positif. Gerakan-gerakan yang bagi sebagian orang terlihat ‘keras’ dan tak lazim hanya terjadi dalam suatu arena saat musik berlangsung dan hanya sebatas itu, mereka mampu menghormati orang lain yang juga ingin menikmati musik yang sedang didendangkan bahkan kondisi tertib terjalin setelah musik berhenti dan pergelaran usai. Namun lihatlah komunitas lain yang notabene dalam lantunan nada dan gerakannya tidak menyulut kerusuhan dan perkelahian tetapi terjadi juga dan memakan korban jiwa.
Keyakinan harus tetap tumbuh, underground tidak akan mati karena peristiwa ‘Sabtu Kelabu’. Kondisi pasar yang tidak memahami dan menolak mentah-mentah hingga khawatir akan terjadinya kondisi ‘anarkis’ dan ‘chaos’ tidak menurunkan semangat perjuangan pergerakan underground. Walaupun tidak bisa dipungkiri munculnya band-band kalangan hedonis yang menjadi ‘parasit’ dalam komunitas underground karena mereka muncul hanya untuk ‘nebeng’ meraih popularitas semu yang pada akhirnya menyerah kepada pasar musik komersil dengan menjual idealisme dan harga diri.
Pesona layaknya artis terkenal dan godaan materi yang menggiurkan tidak akan melemahkan semangat orang-orang yang memegang teguh idealisme dan harga diri pergerakan musik underground. Hanya para ‘poseur’ yang akan menyerah pada keadaan karena orang-orang yang memiliki idealisme dan harga diri itulah yang akan terus mendorong pasar musik underground untuk diterima sesuai dengan sejarah perkembangannya dan tak merubah sedikit pun identitas hanya untuk meraih pengakuan pasar musik komersil saat ini yang penuh dengan kepalsuan.
Pasar musik komersil saat ini bukanlah alternatif ataupun solusi bagi komunitas underground untuk dapat diterima oleh masyarakat awam karena underground akan muncul dan diterima masyarakat tanpa sedikit pun merubah identitas, idealisme dan harga dirinya.
cryptik-howling.jpg
Untuk band-band underground yang menyerah pada keadaan dan menjual harga dirinya untuk tampil dan eksis di pasar musik komersil hanya satu kata yang terurai ‘GO TO HELL‘ karena underground lahir dari suatu nilai pemberontakan terhadap mainstream musik yang mengatur dan membatasi gerak bahkan mencuci otak hanya untuk meraih popularitas semu dan materi yang besar.

Duet Maut: Komunitas Underground Metal dan Seniman Tradisi di Ujung Berung

Beberapa minggu yang lalu, saya menikmati Kania Laksita Raras bercerita banyak tentang anak-anak underground di Ujung Berung. Homeless Crew, katanya. Kemudian Kania juga berceloteh bagaimana ia begitu mual dengan pemberitaan yang mengada-ada tentang tragedi konser Beside yang menewaskan 10 penonton (lalu bertambah menjadi 11 jiwa). Ia terjun ke Ujung Berung awalnya untuk kepentingan formal kegiatan di HMJ (Himpunan Mahasiswa Jurnalistik), namun saya lihat ketertarikan Kania jauh dari sekedar formalitas. Ketertarikannya pada wacana underground di Ujung Berung ia coba ejawantahkan dengan membuat konsep diskusi. Bareng Teguh Wicaksono, si kribo, Kania merumuskan dan mewacanakan diskusi tentang tragedi di dunia musik underground ini pada anak-anak Komunitas Musik Fikom (KMF). Sandy alias ‘Utun’ si ketua KMF menyambut dengan antusias. Jadilah diskusi bertema “Pencitraan Musik Metal oleh Media” dengan mengambil benang merah tragedi AACC yang menurut Kania dan Teguh sebagai klimaks/pengukuhan akan citra tersebut, yang lalu diterjemahkan oleh KMF menjadi sebuah judul : “Diskusi Tragedi Beside: Pemberitaan di Media vs Realita”

Kemarin, 26 Maret ‘08, saya datang ke acara diskusi itu. Sebetulnya saya tidak begitu tertarik dengan tema tragedi Beside, namun saya pikir konseptor diskusi berhasil membuatnya menarik karena mengarahkan diskusi ke tema yang lebih dekat dengan anak-anak Fikom yaitu bagaimana media membuat konstruksi terhadap wacana musik underground di Indonesia, selain tentu saja diskusi tentang sejarah musik metal yang bertujuan untuk memberi pemahaman kepada penggemar metal, dan komunitas underground di Ujung Berung.

Saya pikir sudah umum dipahami (iya gitu?), apalagi buat anak-anak Fikom, bagaimanakah peran media itu? Intinya, saya sependapat dengan Idhar (reporter Ripple), bahwa media adalah biang kerok dari setiap konstruksi wacana. Dalam tragedi Beside, satu kejadian chaos yang merupakan sebuah kecelakaan - bukan disengaja- dikonstruksi menjadi sangat provokatif dan menyudutkan musik underground (terutama Metal). Ada yang menghubungkannya dengan satanis, ada yang menghubungkannya dengan miras dan lain-lain. Sebab musabab kematian 10 penonton konser dikait-kaitkan dengan mitos-mitos musik metal yang telah disediakan media, dibesar-besarkan media. Yah, memang sudah menjadi fitrahnya media kaya gitu bukan? Bisnis wacana. Perang bombastisitas. Karena dari situlah media nyari duit (tapi mungkin ada media yang benar-benar based on data, yang lebih cerdas melihat kejernihan masalah yang ada, saya nulisnya dalam kurung karena begitu ragu bahwa media kaya gitu ada, hehe).

Saya datang di pertengahan diskusi. Ketika itu yang sedang dibahas adalah tema di atas, tentang konstruksi media mengenai tragedi Beside. Saya cukup puas mendengarkan, karena Idhar menurut saya sudah sangat cool menjawab pertanyaan anak-anak jurnal yang haus tentang penjelasan etika pemberitaan, haha. Akhirnya diskusi sampai di sesi ketiga, sesi inilah yang paling menarik bagi saya. Addy ‘gembel’ (vokalis Forgotten) menjelaskan dengan cukup asik sejarah musik metal (Kalo ada yang penasaran dengan pemaparannya silakan hubungi Kania untuk minta soft copynya). Tapi yang paling membuat saya menarik adalah diskusi tentang homeless crew, komunitas underground di Ujung Berung itu.

Ketertarikan saya terutama tentang bagaimana komunitas musik metal dengan mitos-mitos yang kelam, bising, dan lain-lain seperti yang dijelaskan media, dan dikonstruksi oleh anggota komunitasnya sendiri berkembang di sebuah daerah yang kental dengan nuansa tradisional. Ujung Berung yang saya tahu adalah sebuah kawasan yang kaya akan nuansa tradisi. Ternyata, Addy ‘gembel’ bercerita bahwa justru komunitas underground sebagai anak zaman sekarang telah menjalin hubungan yang harmonis dengan desa-desa adat yang ada di Ujung Berung dan kaki gunung Manglayang. Adi bilang kalau ada desa adat yang bikin acara tradisi, komunitas underground selalu diundang, begitu juga sebaliknya, anak-anak underground mengundang para seniman tradisi untuk hadir di acara-acara mereka. Bahkan dengan begitu haru Adi bercerita, setelah tragedi di AACC, para seniman tradisi memberikan ucapan belasungkawa atas tragedi yang menimpa komunitas musik underground.

Kebersamaan itulah yang menurut saya begitu membanggakan. Sebuah usaha pihak-pihak yang termarjinalkan. Sebelumnya, Addy ‘gembel’ telah menjelaskan bahwa kemunculan komunitas underground adalah sebuah respon dari perubahan demografi dan sosiografi Ujung Berung pada akhir tahun 80an dan awal tahun 90an. Sebuah kekalutan identitas anak muda karena Ujung Berung yang sebelumnya begitu alami tiba-tiba berubah menjadi kawasan yang dipaksa modern dengan berdirinya pabrik-pabrik. Masyarakat lokal akhirnya terpinggirkan, karena pemenang dalam dunia industri selalu yang punya modal industri. Anak muda tak difasilitasi kreatifitasnya, begitu pula dengan kehidupan seni tradisi. Sepakat dengan Addy ‘Gembel’ bahwa anak-anak muda di komunitas underground dan para seniman tradisi sama-sama terpinggirkan oleh zaman.

Saya bertanya dalam diskusi itu, adakah perbenturan budaya antara gerakan underground dengan musik metalnya dengan masyarakat tradisi. Addy ‘Gembel’ bilang ada. Namun semuanya dapat diperbaiki dengan cara menjalin komunikasi yang intensif dengan masyarakat tradisi. Kerennya, justru anak-anak metalnya sendiri yang berinisiatif mencari sesepuh-sesepuh adat di Ujung Berung untuk menjalin silaturahmi. Seiring dengan terjalinnya silaturahmi, saling pengertian pun tercipta. Kesinisan selalu muncul dari ke-saling tidak pengertian.

Ketika bertanya, saya memperkenalkan diri sebagai salah satu anggota dari komunitas underground di Jatinangor yaitu ‘Sanggar Seni Motekar’. Tentu Addy ‘Gembel’ paham kenapa saya bilang ‘Sanggar Seni Motekar’ adalah komunitas underground, karena jika pengertian underground adalah sebuah gerakan di bawah yang tidak ikut arus mainstream karena pemarjinalan, maka sanggar seni Motekar tempat saya mengabdikan diri adalah sebuah komunitas underground. Seniman tradisi sama-sama terhimpit ruang ekspresi dan ruang ekonominya karena ruang-ruangnya direbut oleh pendatang-pendatang baru, buah karya perkembangan zaman. Mereka menjadi marjinal karena di tengah gegap gempitanya wacana untuk mempertahankan budaya lokal oleh pemerintah, realisasinya tetap nihil. Sanggar Motekar dengan Jaipongnya kalah oleh organ tunggal, Sanggar Motekar dengan tari klasik dan Cikeruhannya kalah oleh dangdutan. Namun Sanggar Motekar tetap bertahan, dengan segala daya upaya dari orang-orang di dalamnya yang tetap menjaga asa.

Hal di atas saya jelaskan seusai diskusi, karena sesaat diskusi berakhir, datang pada saya seorang berpakaian hitam-hitam, rambut gondrong dengan kumis, jambang, dan jenggot yang garang. Namun, dia memperkenalkan diri dengan sangat someah, “Man” katanya. Dia memberikan imbuhan ‘Jasad’ pada namanya. Oh, dia personil band metal Jasad ternyata. Dia banyak ngasih masukan buat saya dan Sanggar Motekar. Katanya, mendingan sanggar bikin media sendiri untuk menyebar wacana. Betul, itu dia yang belum kita lakukan, saya akan langsung merespon ide kang Man ‘Jasad’ itu ke orang-orang di Sanggar. Saya kira tidak terlalu sulit, karena empunya Sanggar Motekar, Pak Supriatna, dan anaknya, Ceuceu, adalah penulis di Majalah Mangle dan Cupumanik. Saya kepikiran bikin newsletter atau fanzine fotokopian, murah meriah seperti yang sering saya lakukan. Man ‘Jasad’ juga berjanji akan menyebarkan keberadaan Sanggar Motekar ke komunitas sejenis di Ujung Berung. Dia juga meminta kabar jika Sanggar Motekar melakukan kegiatan. Man ‘Jasad’ juga menyarankan agar Sanggar Motekar menggelar acara rutin meski kecil-kecilan agar eksistensinya tetap terpelihara atau justru meningkat. Sampai sekarang, yang rutin di Sanggar adalah Gunem Catur alias diskusi. Saya pun berjanji akan memberi kabar pada anak-anak metal Ujung Berung jika Sanggar Motekar mengadakan kegiatan.

Menyenangkan, melihat begitu dalamnya orang-orang berbaju hitam dan sangar itu pada masalah-masalah yang begitu berbeda dari penampilannya. Ini dia yang bermutu! Ini dia yang keren! Mungkin fashion mereka terjebak dalam gaya tertentu, tapi tidak pemikiran. Man ‘Jasad’ dan Addy ‘Gembel’ jelas-jelas memahami konteks kepentingan dari gerakannya, bukan untuk membunuh suatu wilayah ekspresi yang lain, tapi untuk saling membantu. Man ‘Jasad’ begitu marah pada pemerintah yang tidak pernah mengindahkan para seniman tradisi, kampung-kampung adat, dan kearifan lokal. Usaha untuk memahami konteks dimana ia bergerak, membuat Man ‘Jasad’, Addy ‘Gembel’ dan mudah-mudahan semua teman-teman komunitas underground di Ujung Berung menjadi tidak egois, tapi justru keberadaan mereka menjadi “rahmatan lil’ alamin”. Oia, gerakan underground di Ujung Berung juga berkembang ke arah industri kolektif yang keren, seperti clothing company, sablon menyablon, rental studio, dan lain-lain. Gerakan ini membantu mengurangi angka pengangguran disana. Hidup akhirnya lengkap jika wilayah ekspresi sejalan dengan ekonomi, sempurna jika segalanya dilakukan dari hati.

Salut untuk teman-teman di Ujung Berung. Untuk segala usaha mandiri dan untuk terus tidak menyerah. Salut untuk kebersamaannya dengan seniman tradisi, dan segala usahanya untuk menyelaraskan diri. Saya ambil pelajaran cukup banyak kemarin, pompaan semangat yang membuat saya berbinar karena merasa tidak sendiri, bahkan merasa bahwa saya masih amatir, mereka telah melakukannya lebih dulu dan lebih berliku. Saya di Sanggar Motekar baru kemarin sore.

Untuk Kania dan Teguh dan teman-teman KMF, well done! Ayo bikin lebih banyak lagi kegiatan bermutu di kampus kita yang sepi jempling ini. Teman-teman yang lain juga, ukm-ukm yang lain, bahkan komunitas saya sendiri (Ventilasi dan Ruang Studi Jatinangor) ayo riuhkan kampus kita. Biar gaduh dan pecah seluruh kacanya, hahaha.

Monday, January 19, 2009

Bullet For My Valentine

Jangan ngaku "rocker mania" kalau sampai ketinggalan yang satu ini! Konser Bullet For My Valentine. Konser band rock asal Inggris ini akan digelar JAVA Musikindo pada Rabu, 4 Februari 2009 di Tennis Indoor Senayan, Jakarta, pukul 20.00 WIB.

Saat ini, band yang beranggotakan Matthew "Matt" Tuck (vocals, guitars), Michael "Padge" Paget (guitars), Michael "Moose" Thomas (drums), Jason "Jay" James (bass) telah merilis 4 album. Dan pada April 2008 lalu, Album dengan judul Scream Aim Fire telah dirilis di Indonesia.

Rabu, 4 Februari 2009
Tennis Indoor Senayan, Jakarta
20.00 WIB


Pre-sale Ticket: (15 – 23 December 2008) Limited!
Rp 235.000,-
Normal Price Rp 335.000,-

Friday, January 16, 2009

MUSIK UNDERGROUND SEBAGAI MEDIA PEMBANGKANGAN KAUM MUDA

Musik adalah seni, bila orang awam yang menilainya. Kadang ada juga yang berpikir tanpa melihat atau peduli jenis musik apa yang akan dimainkan atau apa konsep musiknya. Tapi buat orang-orang yang menamakan dirinya atau sering disebut dengan komunitas underground, arti musik buat mereka tidak hanya sebatas itu. Memang mereka juga menganggap musik sebagai sebuah karya seni, tapi selain itu mereka juga menjadikan musik yang mereka mainkan sebagai alat untuk menyampaikan protes, kritik, kemarahan, dan kemuakan mereka terhadap peraturan-peraturan yang ada, termasuk sistem dan norma-norma yang ada di keluarga, masyarakat, agama, dan pemerintah. Mereka mengemas semua itu dengan musik yang kencang, berisik, dan berat dipadu dengan lirik yang kritis.
Sampai saat ini, belum ada defenisi yang kompak tentang apa itu underground. Karena tiap undergrounders (sebutan untuk musisi, penggemar, atau orang-orang yang peduli dengan underground) pasti punya jawaban masing-masing yang berbeda tentang underground. Musik underground itu lahir karena rasa jenuh dengan tren musik yang cengeng dan hampir semuanya membahas soal cinta. Akhirnya muncullah anak-anak muda yang benar-benar tidak peduli musik mereka laku atau tidak, disukai orang banyak atau tidak, yang penting mereka bisa menyalurkan aspirasi mereka melalui musik yang keras itu.
Tidak jelas kapan tepatnya musik underground lahir di Indonesia. Tapi yang pasti, musik underground d Indonesia muncul sebagai imbas dari tren musik Trash Metal di akhir tahun 80-an. Pada waktu itu "demam" Trash Metal sedang melanda remaja-remaja di dunia, yang dimotori oleh band-band cadas, seperti : METALLICA dan SEPULTURA. Dan akhirnya "demam" itupun sampai juga di Indonesia pada tahun 1987, yang jadi awal perkembangan metal di Indonesia, dan ditandai juga dengan munculna band-band metal lokal, seperti : ROTOR, SUCKERHEAD, ROXX, dsb. Tapi yang namanya tren, pastilah ada pasang surutnya. Hingga kemudian tren musik Trash Metal pun meredup dan hampir tak terdengar lagi.
Lalu di awal tahun 90-an, dunia musik Indonesia dihentakkan lagi dengan fenomena banyaknya bermunculan band-band cadas di kota-kota besar, seperti : Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, Denpasar, Medan, dsb. Dan mereka sepakat menyebut komunitas band dan musik mereka sebagai Underground, dengan jakarta dan Bandung sebagai basis terbesar komunitas underground pada masa itu. Komunitas yang didominasi oleh anak-anak muda penuh energi pemberontakan dan pembangkangan terhadap sistem dna norma-norma yang ada di masyarakat, dimana musik menjadi media penyaluran aspirasi mereka dan lirik sebagai senjatanya. Dalam sejarah kelahirannya, underground merupakan sebuah sikap yang berpihak terhadap perjuangan kaum tertindas dan anti kemapanan. Underground menyiratkan perlawanan dan muncul sebagai bentuk rasa ketidakpuasan terhadap tatanan sistem yang ada. Ketidakadilan, penindasan, dan kesewenangan merupakan sebagian kecil dari kebobrokan sistem yang kemudian melahirkan ide-ide dan ekspresi menyatu sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang ada saat ini.
Salah satu contoh band underground yang selalu menyuarakan pemberontakan dari awal berdirinya sampai sekarang adalah FORGOTTEN, yang berasal dari Ujung Berung - Bandung. Yang selalu mengundang kontradiksi bagi semua pihak dari lirik dan musiknya yang selalu mengundang adrenalin. Kemudian ada lagi HOMICIDE, band underground hip-hop yang selalu berorasi setiap kali manggung dan tidak jarang personil-personilnya ikut berdemonstrasi turun ke jalan, sebagai realisasi dari lirik-lirik protes mereka kepada pemerintah. Belum lagi nama-nama seperti KEPARAT, BALCONY, SERINGAI, BURGERKILL, KOMUNAL, dsb. Meski berbeda aliran musiknya, tapi intinya mereka tetap memainkan musik yang keras, dibalut dengan lirik-lirik yang kritis dan cerdas.
Itulah sedikit cerita tentang kaum underground yang berawal dari pembangkangan tapi lambat laun mereka mulai menuai sukses. Walaupun tren musik berganti dari tahun ke tahun, tapi underground tidak akan pernah mati, karena selama masih ada pemberontakan dalam diri anak muda, maka selama itu jugalah underground akan terus hidup.

Pergeseran Paradigma Musik Underground

Tragedi konser musik underground yang terjadi di Gedung AACC (dulu bioskop Majestic) di Bandung hari sabtu lalu merupakan salah satu tragedi konser terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Bayangkan saja, 11 orang tewas dalam satu malam karena berdesak-desakkan. Selain menyibukkan aparat keamanan, masyarakat sekitar hingga sukses memaksa petugas forensik di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) bergadang semalam suntuk untuk mengidentifikasi jenazah, keluarga korban pun sungguh tidak siap kehilangan anggota keluarganya dalam waktu semalam. Apalagi semua korban yang meninggal bahkan luka hanyalah anak-anak SMU yang masih naif bahkan tercatat salah satu satu korban tewas adalah perempuan.

Sepulang dari kantor kemarin saya menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke TKP di jl. Braga. Gedung AACC ini secara fisik terlihat sangat kecil dan selintas memang tidak tampak layaknya gedung konser (mungkin lebih cocok dijadikan restoran). Terletak di sebelah museum Konferensi Asia Afrika (KAA), gedung ini pada zaman Belanda biasanya digunakan untuk pementasan muziek kamer, seperti recital piano atau biola.


Menurut artikel yang saya baca dari Guru Besar LB-ITB, Prof. Yusuf Affendi (PR,14/2), arsitektur gedung AACC ini sengaja dibuat sempit dan kapasitas idealnya hanya diperuntukkan bagi 200 pengunjung saja. Pintu keluar hanya dua pintu kiri dan kanan gedung dan pintu entrance di bagian depan. Ventilasi bangunan tetap dipertahankan seperti aslinya hingga saat ini. Alasannya tentu saja supaya kualitas akustiknya tetap terpelihara bagus. Nah bayangkan jika anda berada di ruangan sesumpek dan sesempit itu dijejali pengunjung hingga 1000 orang dengan iringan musik metal dan goyangan full-body-contact, gepeng gepeng dah lu!

Terlepas dari pihak siapa yang salah di malam itu (panpel atau aparat), musibah tersebut sungguh sangat disayangkan. Meskipun musibah ini bukan yang pertama kali dan tidak dimonopoli oleh konser musik Underground saja. Apa pun alasannya, satu nyawa sangat mahal harganya bagi sebuah konser musik (apa pun jenisnya). Inilah potret buram dari kebebasan berekspresi berlebihan yang justru menjadi sebuah ekses yang kontraproduktif di masyarakat kita. Kegemaran masyarakat kita akan musik keras yang memiliki tendensi kuat ke arah kekerasan adalah refleksi dari masyarakat dan bangsa kita yang sedang stress dan frustrasi karena himpitan ekonomi. Ditambah dengan solidaritas sempit maka lengkaplah sudah ciri masyarakat kita yang sakit.


Perkembangan dan karakter musik Underground

Sebenarnya jika dirunut melalui perjalanan musik urban underground, musik asal Inggris ini sudah diadopsi cukup lama di Indonesia sebagai sebuah mutasi sosial. Meskipun tidak ada catatan resmi, generasi awal musik ini dapat dilihat perkembangannya di era ‘70-an yang terinspirasi oleh pergolakan sosial, politik dan tata ekonomi global. Perkembangan musik underground pun merevolusi orientasinya dari sekedar isme (paham) dalam kesenian musik postmodern menjadi gerakan (movement) nyata yang mem-propagandakan idealisme anti-kemapanan, anarkisme, pacifisme dan wacana pemberontakan menghadapi ketimpangan utara-selatan (north-south gap) atau neo-liberalisme hingga cita-cita negara tanpa kelas sosial dan ekonomi.

Pembentukan komunitas atau kaderisasi sebagai media untuk aktualisasi diri pun dilancarkan untuk memperkuat eksistensi musik ini. Meskipun di panggung lirik-lirik musik underground hanya terdengar seperti teriakan keras “Oooo…”, “Aaaa…” atau sedikit “Oyyy” atau “Blaaahhh…” yang nyaris tidak bisa dicerna maksudnya apa namun sejarah membuktikan proses kaderisasi justru semakin diminati karena idealismenya membentuk suatu imagined community yang mungkin hampir dapat disamaratakan dengan Imagined Community karyanya filsuf politik terkenal, Bennedict Anderson.

Saya pun masih ingat ketika di SMU pas jenis musik ini sedang happening, teman-teman saya mulai hobi main band dan tentunya musik yang mereka mainkan adalah musik underground sebagai ekspresi idealismenya. Menurut mereka musik ini cocok dengan semangat remaja mereka yang masih rebel dan idealis (atau naif?). “Kaga dianggep gaul deh kalo ga suka musik ini!” menurut salah satu teman SMU saya.

Karakteristik utama dari musik underground yang lain adalah konsisten dengan prinsip anti-komersialisme dan anti-borjuis. Berangkat dari jalur indie, musik ini dikenal orang dari mulut ke mulut tanpa proses publikasi apalagi marketing yang biasanya dilakukan major label untuk masuk ke pasar. Apa yang mereka idamkan biasanya adalah sebuah tatanan kesetaraan struktural bagi seluruh lapisan masyarakat. Mereka membenci dominasi ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja.

Anarkisme melalui jalur kekerasan adalah manifestasi perjuangan mereka sebagai anti-thesis keteraturan sosial yang cenderung dimanipulasi oleh kepentingan politik tertentu. Setidaknya inilah yang ingin mereka katakan ke dunia: Justice for all! (Koq jadinya kayak album Metallica?).


Amatir

Terus terang, menurut saya musibah yang terjadi di gedung AACC itu sebenarnya sudah keluar dari jalur idealisme-idealisme di atas. Meskipun musik underground sudah mengalami perkembangan berarti tetapi tampaknya proses kaderisasi masih berjalan di tempat. Hal ini terlihat dari amatirnya panpel ketika acara di malam yang naas itu berlangsung.

Band Beside yang hadir untuk launching album baru malam itu mengaku tidak mengira penonton bakal sebanyak itu. Namun ketidaksigapan panitia dalam melakukan persiapan organisasi, keamanan, masalah teknis hingga ticketing menambah runyam acara yang seharusnya berjalan normal. Hal ini terungkap dari sebuah wawancara dengan seorang panitia malam itu di TV yang mengatakan bahwa kebanyakan dari panitia adalah cabutan dan seluruh personil hanya berjumlah 30 orang. Waktu persiapan acara ini pun terbilang ajaib: 3 hari aja mennnn!!! Jumlah ticket pun tidak dibatasi. Dengan harga ticket yang hanya Rp. 10.000 ditambah konser berlangsung pada tanggal muda, tentu semua kalangan bisa membelinya. Inilah yang tidak diantisipasi oleh panpel.

Insiden pembagian alkohol oleh panitia di tengah-tengah pertunjukkan adalah sebuah tindakan yang konyol kalau tidak mau dibilang tolol. Ketika ditanya, panpel berkilah kalau sebotol bir saja tidak akan memabukkan jika diminum oleh seorang penonton. Oalaaa….tampaknya mereka tidak tahu kalau small percentage of alcohol dapat sangat merusak sel-sel otak jika distimuli oleh faktor-faktor berikut ini: perut kosong, mendengar musik sangat keras, berada di dalam ruangan yang sumpek, gelap dengan penerangan seadanya dan dalam keadaan lelah setelah berjingkrak-jingkrak ga jelas. Furthermore, bad influence of alcohol akan sangat terasa efeknya bagi orang-orang yang justru tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras terutama perempuan. Ga percaya? Coba aja sendiri Bos!


Pergeseran Paradigma

Ada lagi fakta yang membuat musik underground ini menarik. Menurut artikel yang ditulis oleh Tarlen Handayani (PR, 14/2), musik underground pasca tumbangnya orde baru mengalami pergeseran paradigma yang cukup signifikan. Berawal dari identifikasi komunal para “undergrounders” di tahun 80an, kini komunitas tersebut cenderung lebih individualistik. Ironisnya, idealisme komunal dan anti-kemapanan kini bergeser menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup.

Indikatornya terlihat dari banyaknya band indie yang masuk ke jalur komersil, booming usaha distro dan label yang mengubah wajah sangar underground menjadi potensi bisnis yang menggiurkan. Saya saja sekarang sudah tidak sanggup membeli produk-produk distro di Bandung karena terlalu mahal. Namun musibah minggu kemarin semakin mempertegas indikasi pergeseran paradigma underground: pengejaran profit semata oleh panitia melalui penjualan ticket yang tidak dibatasi hingga masuknya peran sponsorship untuk mendukung konser tersebut.

Meskipun tidak terlalu mengubah karakteristik bermusik mereka di panggung, namun pergeseran paradigma ini sebenarnya cukup disayangkan oleh sebagian pihak. Terutama para undergrounders konservatif yang masih menginginkan semangat rebel, anti-kemapanan dan komunalisme tetap dipertahankan di komunitas ini. Tapi apa daya, alih-alih memberikan teladan bagi generasi berikutnya, ternyata banyak dari mereka pun telah keluar dari jalur underground yang sesungguhnya karena kebutuhan finansial. Inilah yang menjadi paradoks bagi generasi underground yang baru.

Hal ini kian mempertegas kita bahwa prinsip apa pun yang kita anut (atau kita kultuskan) sebagai manusia biasa yah tetap saja orang juga butuh makan, cing! Pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah hal mutlak yang harus dipenuhi oleh manusia untuk bertahan hidup (survival). Melihat paradigma underground yang sudah bergeser tadi, suka atau tidak suka, sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja hingga saatnya cita-cita gerakan underground tadi berubah dari semangat anti-kemapanan menjadi semangat konsumerisme.

Konser Musik Underground di Kuburan

Apresiasi seni khususnya musik memang bisa menembus berbagai lapisan masyarakat. Musik undeground misalnya, tak hanya diselenggarakan di stadion atau gedung tapi juga di pinggiran kota. Buktinya, musik underground berlangsung di permukiman penduduk di kawasan Jakarta Selatan, belum lama ini. Acara, uniknya, berlangsung di pemakaman umum Jeruk Purut.

Liar dan garang. Itulah musik underground. Keliaran para pemusik di atas panggung tak pelak mengalir pada para penonton. Mereka hanyut dalam suara dentuman liar drum, raungan gitar, serta teriakan sang vokalis. Panasnya suasana tak urung pula membuat panas emosi. Benturan pun terjadi.

Ketika emosi tak terkendali dan kemarahan tersulut. Perkelahian pun tak terhindari. Untunglah panitia penyelenggara mengambil langkah tegas. Konser dibubarkan. Menurut panitia, pagelaran musik underground di pemakaman ini memang sudah rutin diselenggarakan.

> Bandung Masuk 5 Besar Dunia Komunitas Musik Underground

Beside, yang menggelar konser launching albumnya Sabtu lalu (9/2/2008) di AACC, merupakan satu dari
sekitar 200 grup musik underground di Kota bandung.
Besarnya jumlah itu menjadikan Bandung
masuk jajaran lima besar komunitas
underground terbesar dalam skala internasional setelah Amerika, Jerman, Inggris
dan Belanda. Demikian disampaikan pengamat musik underground, Reggi Kayong
Munggaran, saat dihubungi detikbandung, Senin (11/2/2008). "Berdasarkan penelitian-penelitian yang pernah
dilakukan orang luar negeri tentang subkultur di Bandung.
Ternyata Bandung memiliki animo yang cukup besar terhadap musik underground,
hingga menempati posisi ke lima
komunitas terbesar undrground di dunia," tutur Reggi.
Menurut Reggi, besarnya animo
masyarakat, anak muda khususnya, terhadap musik underground merupakan
kecenderungan yang aneh. Begitupun menurut negara-negara lain penganut
subkultur yang sama. Musik underground sendiri, lanjut reggi, merupakan budaya
cangkokan. Dimana dalam proses pencariannya membentuk kultur memberdayakan diri
sendiri dan komunitas. Berangkat dari pemikiran itulah, para pelaku musik
underground memiliki etos kerja ''''Do it Your Self". Karena musik
underground merupakan musik subkultur bukan musik mainstream, dimana tidak
semua orang bisa menikmati, tidak semua orang bisa melihat. Sehingga untuk
tetap menjaga eksistensi musik ini harus dilakukan sendiri. "Grup
underground membuat konser sendiri, show sendiri, kecenderungannya lebih
eksklusif karena kapitalisme sudah mengakomodasi musik itu sendiri. Kalau musik
seperti ini siapa yang mau mendengar, studio mana yang mau membuat rekaman.
Kecuali oleh orang-orang yang memiliki kecintaan terhadap musik underground," jelas Reggi.
Reggi mengatakan, dari sekian banyaknya grup musik underground di kota
Bandung, sudah banyak yang
melebarkan sayap ke luar negeri, seperti Eropa. Hal itu bisa terjadi ketika ada
orang asing yang tertarik melihat
subkultur di kota Bandung,
sehingga mereka pun melakukan penggalangan dana untuk membawa musik underground
Bandung bermain di dunia
internasional. Menyinggung mengenai pandangan masyarakat tentang musik
underground yang seringkali diidentikkan dengan kekerasan Reggi menuturkan,
para pelaku musik underground pasrah tapi tidak cenderung apatis. Untuk
mencairkan opini masyarakat, mereka seringkali mengadakan kampanye anti
kekerasan. "Ke depannya, kami akan melakukan kampanye anti HIV AIDS dan
anti narkoba," tambah Reggi.

Heavy Metal

Heavy metal ditemukan oleh Band veteran Tahun 60'an Steppenwolf, dalam lagu klasiknya yang berjudul 'Born To Be Wild' (ada di baris kedua bait kedua, "dasar maniak barang remeh-remeh!").

"I like smoke and lightning Heavy metal thunder Racin' with the wind And the feelin' that I'm under".

Tapi istilah itu belum dipakai secara tepat sampai pada tahun 1970, ketika Black Sabbath merilis album perdana klasik mereka yang berjudul ' Paranoid'. Cukup banyak band Heavy metal.

Dari tahun 1960-an atau bisa disebut Blues Rock seperti Led Zeppelin, AC/DC Classic metal dan disekitar 60an sampai 70'an atau disebut Classic Rock seperti Black Sabbath, Blue Oyster Cult, Deep Purple, Alice Cooper. Permainan Classic metal dimainkan kadang dengan Organ. Musiknya dikendalikan olehriff yang lebih sering dimainkan dalam tangga nada minor. Vokalisnya juga terpengaruh oleh Led Zeppelin kecuali Bapak metal Ozzy Osbourne yang dipengaruhi oleh Sirene udara.

70'an
Ditahun 1968, sound yang akan menjadi terkenal dengan sebutan heavy metal telah bersatu. Di Januari, band dari Francisco Blue Cheer mengeluarkan cover song dari lagunya Eddie Cochran's "Summertime Blues", di album debut mereka Vincebus Eruptum dan banyak yang beranggapan bahwa rekaman pertama orisinil heavy metal adalah dari album tersebut.

Awal 80'an
Genre ini muncul di 70'an dan masih berupa musik Punk rock tapi lebih dikenal di awal 80'an. Di gawangi oleh band-band seperti Motörhead, Iron Maiden, Venom dan Diamond Head, .

NWOBHM muncul di Britania raya

Awal 80'an ketika Heavy Metal bertabrakan dengan Blues di Britania Raya. Muncul Genre yang disebut New Wave of British Heavy Metal (NWOBHM) dengan riff nge blues dan vokal yang melengking. Muncullah band-band seperti Iron Maiden, Motörhead, Saxon, Judas Priest, Def Leppard dan Samson.
Extreme Metal (Underground)

Metallica band Thrash metal

Tempo lagu sangat cepat yang diusung oleh gitaris yang memainkan gitar rhytm Downstroke pada Thrash metal oleh band-band seperti Metallica, Megadeth, Slayer dan Anthrax yang dijuluki Big Four Of Thrash. Di San Francisco ada Testament dan Exodus di New Jersey ada Overkill dan Sepultura dari Brazil, lalu pada tahun 1990'an, underground ini lebih memasuki ke Extreme metal seperti Grindcore dipelopori oleh Napalm Death dan Carcass, Black metal yang diprakarsai oleh band-band cadas seperti Venom, Mayhem, Bathory, Mercyull Fate, berkembang pada 1991 menjadi Scandinavian Death metal oleh Entombed, Dismember, Unleashed, dan At The Gates Melodic Death metal yang berasal dari Gothenburg Swedia lalu berkembang di Finlandia dan Norwegia oleh band-band seperti Arch Enemy, Dark Tranquillity, Disessction. Florida Death metal adalah Turunan jenis musik Thrash metal yang berasal dari band Kreator dan Destruction melahirkan band band asal Florida yang terkesan lebih brutal yang menjadi Techical metal di pioniri oleh Cynic (kemudian menjadi berevolusi menjadi Aghora ), Atheist, Immolation, Death. Progressive Death metal yang mungkin lebih cenderung ke visualisasi dan banyak mengunakan Tradisional pun dimaklumi, Pionirnya adalah Opeth, Pestilence, Death, Novembre dan mungkin Progressive metal oleh Dream Theater.

Perbedaannya dengan Power metal adalah genre ini lebih bersemangat dan vokalis genre ini kebanyakan di pengaruhi oleh Rob Halford dan Bruce Dickison band-band genre ini kebanyakan dari Eropa. Misalnya, Europe (Swedia), Iron Maiden (U.K), Helloween (Jerman). Dan Speed metal dimainkan lebih cepat sangat-sangat cepat dan bertenaga seperti Motörhead (akhir-akhir), Iron Angel, Anthrax.

Thursday, January 15, 2009

Charity For Robin Hutagaol

pihak Solucites Metal Concert berencana untuk menyelenggarakan acara Charity untuk Robin Hutagaol. Bang Robin seperti yang sudah kita kenal merupakan salah satu figur yang sangat dihormati di kalangan rock/metal Indonesia dan memiliki reputasi Internasional yang tidak mungkin kami sebutkan disini satu persatu.

Seperti telah kita ketahui bersama, Bang Robin tergolek lemah masih tidak sadarkan diri di RS. Husada Mangga Besar akibat kecelakaan ditabrak oleh oknum yang tidak bertanggung jawab ,sore tanggal 12 Januari 2009 lalu.



Acara non profit ini akan diselenggarakan pada tanggal 25 Januari 2009 yang melibatkan 25 band yang akan tampil disana. Seluruh dana yang terkumpul selama acara akan disumbangkan pada pihak keluarga Robin.
Bila bapak/ibu berhalangan hadir di acara tersebut. Kami menunggu bantuan uluran tangan di no.rek 342-266-2283 BCA a/n istri beliau, Megawati Marbun untuk biaya pengobatan Bang Robin yang sama sama kita cintai

Salam,

Biografi DragonForce



Band ini mulai berdiri pada tahun 1999 dengan formasi Herman Li (Gitaris), Sam Totman (Gitaris), ZP Theart (vokalis), Didier Almouzni (drummer), pada saat itu belum ada pemain Bass.
Pada tahun 2000, mereka mulai mengeluarkan album demo mereka dengan tajuk "Valley of The Damned" dengan 5 track demo lagu.
Juni,2000, demo mereka mulai di rilis di sebuah situs mp3.com, dan mereka memuncaki tangga2 lagu power metal, pada saat itu, Bassist Diccon Harper yang merupakan alumni grup band selandia baru beraliran black metal, demoniac, menyusul mantan teman2 nya yg berasal dari grup yg sama Herman Li dan Sam Totman, untuk bergabung dengan DragonHeart.
Di tahun 2001, mereka banyak menulis lagu untuk debut album mereka, dan melakukan banyak pertunjukan. di tahun 2001, sang keyboardis, vadim pruzhanov bergabung dengan DragonHeart, dan mulai ikut di berbagai pertunjukan mereka.
Setelah terikat kontrak dengan Noise records pada tahun 2002, mereka mulai sibuk untuk melakukan rekaman versi final album debut mereka "Valley of The Damned".

Pada tahun 2002, bassist Diccon Harper mulai merasa bahwa DragoHeart tidak sealiran dengan aliran musiknya, dia keluar dari grup band tersebut, kemudian posisinya digantikan oleh Adrian Lambert.

setelah melewati beberapa tour, 2003, Didier Almouzni, pemain drum grup ini, juga ikutan mundur dengan alasan yang sama di utarakan oleh Diccon Harper.

mengisi kekosongan Didier, dave mackintosh, drummer band aliran symphonic Black metal "Bal-Sagoth".

Kemudian, di tahun 2003 album debut pertama mereka keluar dengan nama yang sama dengan album mereka sebelumnya "Valley of The Damned". yang sekaligus merubah nama grup band menjadi DragonForce dari nama sebelumnya DragonHeart, yang ternyata nama DragonHeart telah dipakai grup beraliran power metal juga, asal brazil, yang berdiri sebelum mereka, yaitu pada tahun 1997.

Album kedua mereka (Dragon Force), Sonic Firestorms mulai direkam pada bulan Oktober sampai dengan desember tahun 2003.

dan pada tahun 2006 mereka merilis album ketiganya, In human Rampage.

LINE UP DRAGONFORCE SAAT INI :


ZP "Zippy" Theart (1999-sekarang)
vokalis DragonForce, lahir pada tahun 1975 di clainwilliam, afrika selatan
theart bergabung dengan DragonForce, setelah teman satu grupnya, yaitu herman li dan sam totman melihat theart pada iklan Theart di majalah "metal hammer",
kata li, theart adalah orang yang selama ini mereka cari untuk menjadi vokalis di grup band ini.
theart, juga bisa bermain gitar akustik. selain itu dia juga bernyanyi untuk grup beraliran punk metal dan comedy rock "shadow warriors", yang merupakan proyek sampingan dari sam thotman.


Herman Li (1999-sekarang)
Lead dan rhytm gitaris, serta backing vokal ini lahir di Hongkong tahun 1976. awal dia bermain gitar pada tahun 1992 pada usia 16 tahun. setelah lama bermain di beberapa grup metal underground di London, dia memutuskan untuk membentuk grup sendiri dengan aliran power metal yg dinamai "DragonHeart" yg berganti nama menjadi"DragonForce". Herman memiliki gaya bergitar yg sangat cepat, dia mengaku terinspirasi oleh musik video games dan beberapa musik games dari permainan komputer, hal ini tercermin pada permainan gitarnya di lagu "through the fire and flames" di album "in Human Rampage", dia bilang sempat memasukkan effect suara permainan pacman di permainan gitar pada lagu itu.
Li di nobatkan sebagai best shredder pada acara Metal Hammer Golden Gods Awards pada tahun 2005, melalui album sonic firestorms.
Li dan temannya satu grup, sam totman berhasil memenangkan 4 kategori di Guitar World’s Readers Poll 2007, sebagai Best new talent, best metal, best riff, dan best shredder. mereka juga memenangkan best guitar solo, melalui lagu Through the fire and flames pada Total Guitar’s readers poll tahun 2007.


Sam Totman (1999-sekarang)
Lead dan rhytm gitaris DragonForce, lahir di Inggris,dan menghabiskan masa kanak2 nya di selandia baru, dia mulai bermain gitar pada usia 9 th, dengan gitar klasik. sebelum ia bergabung dgn dragonforce, dia bermain dengan 3 band yg satu sama lain berbeda aliran. salah satunya demoniac. pada saat di demoniac nama panggungnya adalah "Heimdall". demoniac mengeluarkan 3 album, sebelum bubar, mereka pindah dari selandia baru ke london dan bubar pada akhir 1999. Totman menulis beberapa lagu untuk dragonforce, ia juga masih aktif sebagai anggota band (additional player) "Power Quest" yaitu band power metal di inggris yg berdiri tahun 2001. yang nota bene pendirinya adalah steve williams (mantan pemain keyboard dragonHeart). Totman adalah alcoholic, kadang di penampilan live-nya tak jarang dia bermain gitar dalam keadaan mabuk, dia sering di kritik penggemarnya akibat kebiasaan buruknya ini, bukan apa-apa, cuma akibatnya permainan gitar nya menjadi aneh dan buruk. Totman sering menggunakan gitar Ibanez dalam setiap aksi panggungnya, seperti gitar seri V Blade, VBT700, dan IC400.


Vadim Pruzhanov (2001-sekarang)
pemain keyboard dan keytar dragon force, berusia 23 tahun, lahir di ukraina, lalu pindah ke london, Inggris. dia mulai bermain piano pada usia 8 tahun, lalu memperdalam ilmunya di sekolah piano. 3 tahun menuntut ilmu di sekolah piano, vadim nampak bosan dan akhirnya dia memutuskan untuk belajar piano sendiri. dalam proses pembelajarannya, dia mulai mengenal rock , dan tertarik untuk berkarir di aliran musik ini.
vadim juga bisa bermain gitar, dia terinspirasi beberapa pemain gitar terkenal seperti Yngwie Malmsteen, Strapping Young Lad, Steve Vai, Pantera, Judas Priest, Symphony X, dan Dream Theater.


Dave Mackintosh (2003-sekarang)
Dave "Compact Dynamo" Mackintosh, begitu nama dan julukan drummer dan back vokal Dragon Force, terkenal dengan permainan pedalnya yang sangat cepat, sebelumnya, Dave adalah anggota band "Bal-Sagoth", band beraliran symphonic black metal berasal dari Inggris ini berdiri pada tahun 1993 - sekarang, Dave menjadi anggota "Bal-Sagoth" pada album The power cosmic (1999) dan Atlantic ascedant (2001).
Permainan Dave dipengaruhi oleh para drummer2 seperti : Neil Peart, Mike Portnoy, Tommy Aldridge, Charlie Benante, Ingo Schwichtenberg, Nicko McBrain, Jonny Maudling, Vinnie Paul.


Frédéric Leclercq (2005-sekarang)
pemain Bass Dragon Force, multi talented alias mempunyai bakat yang beragam ini tidak hanya bisa memainkan gitar bass, tapi bisa bermain keyboard dan gitar, selain itu dia juga seorang session musician atau disebut dengan penyanyi sewaan yang bisa bernyanyi di band lain, sebagai partner duet dalam bernyanyi.Fred, adalah mantan anggota grup band beraliran power metal dari perancis " Heavenly".
Fred besar di keluarga musisi, pertama dia mengenal musik melalui piano, yang kemudian menuntunnya ke dunia heavy metal pada usia 12 th, dia berpindah dari bermain piano lalu bermain gitar. Setelah sukses bermain di beberapa grup metal underground di tempat tinggalnya, perancis, dia lalu bergabung dengan " Heavenly", bersama "Heavenly" dia berhasil menghasilkan album Sign of the winner (2001) dan Dust to dust (2004).dan melakukan tour keliling eropa.
2004, fred bersama-sama dengan pemain bass dan drum "Heavenly", dia membentuk grup beraliran heavy thrash metal "Maladaptive", yg menghasilkan sebuah demo (SUXEED), serta pernah melakukan tour di perancis, selain itu Maladaptive menjadi grup band pembuka konser2 besar seperti anthrax.
fred, bergabung dengan Dragon Force pada tahun 2006. setelah pemain bass sebelumnya, adrian lambert memutuskan untuk pergi dari dragon force. fred mengisi kekosongan lambert pada show dragon force di jepang dan amerika utara.
permainan bass fred dipengaruhi oleh Uli Jon Roth, Adrian Smith, Trey AzagthothMarty Friedman.

Musik Metal Bantu Stabilkan Emosi

semua orang suka dengan musik beraliran cadas. Iramanya yang hingar bingar dianggap sebagai musik yang hanya membuat telinga tuli. Tapi mulai sekarang, meskipun Anda tak menyukainya, tak ada salahnya jika Anda memanfaatkan keberadaannya untuk meredan stres. Tak percaya ?

Penelitian terbaru yang dilansir oleh Sciencedaily bahkan menyebutkan bahwa penggemar musik heavy metal ternyata lebih pandai meredam emosi negatif, lebih ekspresif dan lebih bisa meluapkan kemarahannya.

Penelitian yang melibatkan 1.057 murid dari usia antara 11 dan 18 tahun dari sekolah National Academy di Amerika. Semua responden diteliti dengan cermat hubungan mereka dengan keluarga, perilaku di sekolah, bagaimana mereka menghabiskan waktu santai, musik kesukaan, dan jenis media yang mereka konsumsi. “Penelitian ini berhasil membuktikan bahwa bahwa presepsi yang selama ini beredar salah. Selama ini orang menganggap murid yang cerdas dan memiliki intelijensi tinggi cenderung didominasi mereka yang suka musik klasik dan menghabiskan banyak waktu untuk membaca, ” ujar Stuart Cadwallader, kepala penelitian dari Warwick University.

Sayangnya, menurut Stuart tudi mereka yang menikmati musik heavy metal cenderung mengalami kesulitan untuk menjalin hubungan dengan keluarga dan teman-teman mereka. Dan mereka menjadikan musik sebagai media ‘keterbukaan’. Sebagian besar murid mengatakan mereka tidak mempertimbangkan untuk menjadi penganut Metal sejati tapi musik heavy metal memahami aspek spesifik kebudayaan pemuda saat ini. Dengan menggunakan musik yang keras dan agresif, mereka bisa keluar dan lepas dari rasa frustrasi dan kemarahan. Di sini berhasil dibuktikan bahwa musik heavy metal atau cadas juga bisa meredekan situasi hati atau mood yang sedang buruk. Menurut Stuart, banyak musisi aliran heavy metal juga memiliki tingkat intelijensi tinggi seperti vokalis Iron Maiden, Bruce Dickinson, yang selain sebagai musisi, juga berprofesi sebagai novelis dan pilot penerbangan komersial.(arthazone)

Pakai Cello Untuk Mainkan Musik Metal


Pernah lihat iklan rokok Xmild dimana ada beberapa cowok gondrong memainkan musik metal pakai cello, alat musik yang biasanya dipakai untuk memainkan musik klasik? Sebenarnya ide iklan ini tidak begitu kreatif, karena lebih dari sepuluh tahun yang lalu, Apocalyptica sudah memainkan musik metal dengan cello! Mulai dari lagu-lagu Metallica, Sepultura, Pantera dan Faith No More.

Apocalyptica adalah group yang terdiri dari empat musisi klasik asal Scandinavia. Pada tahun 1996 mereka merilis album "Plays Metallica by Four Cellos". Sesuai judul albumnya, mereka memainkan lagu-lagu dari raja musik metal, Metallica. Mulai dari lagu metal yang "lembut" dan melodius seperti "The Unforgiven", hingga nomor metal kencang seperti "Master of Puppets", "Welcome Home (Sanitarium)", "Enter Sandman", dan lain-lain.

Mereka memainkan lagu-lagu tersebut note for note, satu cello untuk mengganti suara bass, satu untuk rhytm guitar, satu untuk melody/lead guitar dan satu untuk mengganti vocal. Hasilnya, komposisi musik ala musik klasik yang super keren. Kalau orang yang tidak "kenal" lagu-lagu Metallica pasti akan menyangka ini adalah benar-benar lagu-lagu klasik. Dari sini saya jadi berpikir bahwa hal ini bisa dibalik, maksudnya materi musik klasik yang ada dari Bethoven, Mozart, dll pun artinya bisa dimainkan secara metal dengan instrumen seperti bass, guitar dan drums. Yeah!

Tidak sampai disitu saja, Apocalyptica juga merilis album lain dua tahun kemudian dan diberi judul "Inquisition Symphony". Mereka memainkan lagu-lagu Metallica juga, ditambah dengan lagu-lagu dari Sepultura, Pantera dan Faith No More! Pendekar-pendekar musik Metal yang super kencang!

Kalau anda penggemar musik klasik yang mau mendengarkan musik klasik yang agak "beda" atau anda penggemar musik metal yang ingin suasana lain, silahkan dapatkan album mereka:

http://www.amazon.com/Plays-Metallica-Four-Cellos-Apocalyptica/dp/B000001EMW/ref=sr_1_1/002-8305799-3511202?ie=UTF8&s=music&qid=1179189209&sr=8-1

http://www.amazon.com/Inquisition-Symphony-Apocalyptica/dp/B00000AFDY/ref=pd_bxgy_m_img_b/002-8305799-3511202?ie=UTF8&qid=1179189209&sr=8-1

Atau ke website Apocalyptica untuk mengenal mereka lebih jauh: http://www.apocalyptica.com

Di sana anda akan melihat kalau Apocalyptica bukan hanya do cover version, tapi mereka juga mempunyai lagu-lagu mereka sendiri.

Musik Metal Ibarat Nyandu

Musik metal itu seperti rokok. Pertama kali ”ngisep”, batuk, tapi sesudah itu bisa ”nyandu”. Begitu Prisa Rianzi (20) mengibaratkan.

Siapa Prisa? Nama Prisa dikenal di kalangan gitaris karena ia memang gitaris, lebih khusus gitaris beraliran metal. Bersama Vendetta, grup band heavy metal-nya yang berawak empat cewek, Prisa ingin mewujudkan idealismenya bermain musik. Awak Vendetta, katanya, ditanggung high skilled. ”Aku yakin Vendetta bisa dijual ke luar negeri,” tegasnya.

Di komunitas sekaligus situs gitaris.com, Prisa dinobatkan menjadi Miss Gitaris.com gara-gara kerap menjadi juru bicara mewakili komunitas. Ia menjadi semacam ikon lantaran sebelum kemunculannya, anggota komunitas hanya berisi cowok dan cowok melulu.
`
Mengapa memilih metal? Musik yang dijuluki musik keras seperti cadas itu, buat Prisa, mengalirkan rasa tersendiri kala didengarkan. Hmm... bagaimana rasa itu? ”Kalau denger musiknya, adrenalin langsung naik. Ada sensasinya, jadi head bang deh. Bagi orang yang enggak suka, denger metal memang menderita,” katanya.

Menjadi gitaris band metal itu membanggakan. Boleh dibilang, gitaris cewek yang memainkan musik metal, serta memiliki grup band metal berpersonel cewek semua, belum ada di jagat ini. ”Kalau pas turun panggung, rasanya keren banget,” tutur pengidola antara lain band Lamb of God, Arch Enemy, Killswitch Engage, Children of Bodom, dan Spawn of Possession ini.

Mau tahu penampilan Prisa? Jangan bayangkan seorang cewek tomboi dengan gaya bicara ceplas-ceplos. Tutur katanya justru lembut, menjurus ke gemulai. Ketawanya pelan, seperti malu-malu. Kalimat demi kalimat mengalir pelan dan teratur, tidak tergesa-gesa. (Eh, tapi menurut kakaknya, Prita, Prisa itu kalau marah galak juga).

Saat diwawancara di rumahnya di daerah Warung Buncit, Prisa bercerita ia tengah menjalani perawatan kulit wajah sehingga sebisa mungkin menghindari tempaan sinar matahari. Karena kerap dibubuhi make-up, kulit wajahnya menjadi berjerawat. ”Lagi jelek nih,” katanya sambil menutup wajahnya. Padahal cantik lho.

Selera musik boleh metal, tapi penampilan tetap kalem. Hal yang prinsip buat Prisa adalah menghindari minuman beralkohol, rokok, dan obat-obatan terlarang. ”Kalau biasanya orang rock atau metal itu pergaulannya bebas lalu minum minuman keras, aku enggak ambil gaya hidup itu,” tegasnya.

Sejak SMP

Prisa mengenal gitar ketika usia 14 tahun, sewaktu kelas II SMP. Mulanya Prisa hanya iseng meminjam gitar kopong kepunyaan teman, tetapi lantas mengasyikinya, hingga ia pun mengikuti kegiatan ekstrakurikuler musik di sekolah. Melihat semangat Prisa bermain gitar, kakaknya, Amir, menghadiahinya sebuah gitar pada ulang tahunnya yang ke-15.

Prisa juga belajar lewat buku berisi lagu-lagu yang dibubuhi chord, yang biasa dijual di kios kaki lima. Sampai pada suatu saat, ia minta orangtua mendaftarkannya kursus di Yamaha Music Indonesia. Di sana ia belajar gitar klasik selama dua tahun.

Pada usia 17 tahun, Prisa pindah menekuni gitar elektrik dan kursus di Farabi selama setahun, dilanjutkan kursus privat. ”Saat itu, aku mantap ingin menjadi gitaris beneran. Dan, belum jadi gitaris beneran kalau nggak pegang gitar elektrik,” ujarnya.

Gitar menjadi teman hidup Prisa. Ia makin aktif muncul di berbagai acara yang digelar komunitas underground dan band indie. Nge-jam bareng menjadi saat yang dinantikan. ”Aku merasa diterima sebagai bagian dari sebuah komunitas,” katanya.

Hidup dari musik

Lulus SMA, Prisa maunya kuliah di bidang musik, khususnya gitar. Namun, orangtua Prisa masih menyangsikan pilihan hidup putrinya. ”Ya kalau nggitar saja, duitnya kan angin-anginan,” jelasnya.

Prisa lantas kuliah di Fikom Universitas Moestopo, namun tak urung berhenti juga di semester IV. Pada akhirnya, orangtuanya mau mengerti dan menyerahkan pilihan kepada putrinya. ”Gitaris itu juga profesi, sama seperti pengacara. Aku enggak mau sekolahnya apa kok pekerjaannya beda,” terang Prisa.

Pada tahun 2005, sebelum mendirikan Vendetta, Prisa pernah membentuk grup, Zala, yang ngetop di kalangan underground. Bersama Zala, ia tidak hanya manggung di pentas metal underground, tetapi pernah diundang di ajang Java Jazz 2006.

Prisa sempat berintegrasi dengan band Dead Squad dan berpasangan dengan personel Andra & The Backbone, Stevie Item. Ia juga berkolaborasi dengan Eet Sjahranie, gitaris Edane, dan sempat dikontrak dua bulan menjadi gitaris tamu serta backing vocal grup Sheila On 7. Dengan band yang sedang melesat, J-Rock, ia pun berpadu.

Ya, memang masih kontrak-kontrak berskala tidak besar, tetapi Prisa yakin bisa hidup dari musik, bahkan indie sekalipun. Saat ini harga manggung Vendetta masih sekitar Rp3 jutaan. ”Namun kami terus menaikkan harga,” katanya optimistis.