Sunday, March 15, 2009

"Ngerock" Meski Sepi Penonton

Gemuruh sorak sorai dan tepuk tangan bergema di tengah panasnya Jakarta ketika Giring (vokal), Rama dan Ariel (gitar), Adrie (drum), Andro (bas), dan Run-D (keyboard) dari Nidji dengan ekspresif mengusung lagu-lagu upbeat mereka. Sayang, gemuruh itu bukan timbul dari apresiasi ribuan orang, melainkan suara manusia yang memantul di ruangan yang begitu besar. Tennis Indoor Senayan dengan kapasitas 5.000 orang, terlalu besar untuk 200-an orang yang menikmati aksi Giring dan kawan-kawan, Jumat (11/7) itu. Pun tiga panggung lainnya, Park Stage, Tennis Outdoor, dan Rock Lounge tampak terlihat puluhan orang saja yang berjingkrak atau duduk lesehan di sekitar panggung. Padahal, band-band yang tampil menyuguhkan aksi musik dan visual yang maksimal seperti Begundal, The Changcuters, atau Monkey to Millionaire, salah satu band jebolan festival musik indie sebuah produsen rokok..

Sejatinya, acara "Jakarta Rock Parade" (JRP) yang digagas Biganendra ini adalah pertunjukan rock terbesar yang pernah ada di Indonesia dengan empat panggung dan melibatkan 100 band selama tiga hari dari 11-13 Juli 2008. Sebuah konsep yang mendekati Woodstock-nya Amerika, Big Day Out Australia, Rock in Rio milik Brasil, atau Fuji Rock di Jepang.

Namun, hari pertama terlihat kurang mendapat respons pencinta musik dan pertunjukan rock di Indonesia. Entah karena keengganan sang promotor menggandeng sponsor untuk acara itu sehingga berdampak pada promosi dan sosialisasi yang dinilai Krisna Suckerhead kurang untuk event sebesar JRP. Atau harga tiket Rp 200.000,00 per hari untuk tiga panggung dan Rp 400.000,00 per hari untuk empat panggung yang menurut Yuki PAS Band terlalu mahal untuk para pemuja rock. Mungkin juga karena pilihan hari yang mengikutsertakan hari kerja.

Apa pun alasannya, yang pasti sepinya pengunjung tidak membuat para performer tampil minimal dalam acara yang menghadirkan empat panggung besar untuk 100 band dalam dan luar negeri serta lintas genre dan generasi rock itu. Seperti yang disajikan Nidji dengan modern rocknya. Rhythm Ariel yang dibumbui efek keyboard Run-D mengawali "Heaven" bersama lontaran lirik cepat dari mulut Giring. "Kau dan Aku" yang diaransemen dengan tempo cepat, "Hapus Aku" yang di-medley dengan "Disco Lazy Time" juga tetap bisa membujuk penonton yang hadir untuk ikut bernyanyi dan meloncat bebas.

Di Park Stage, college punk berenergi ala band rock asal Bandung, Rocket Rockers membuat sore di Jakarta makin panas. Lagu-lagu seperti "Tergila", "Finishkan", "Pesta" milik Elfa’s Singer, dan "Terobsesi", single andalan album baru mereka yang bertitel "Ras Bebas" sukses membuat ratusan tungkai kaki meloncat menuruti ketukan impresif yang dibangun Ucay (vokal), Aska (guitar/vokal), Bisma (bas/back vocal), Lope (gitar/back vocal), Ozom (drum/back vocal).

Warna lain musik rock terlukis ketika Noor Bersaudara, kelompok musik bersaudara yang sempat berjaya di era 1970-an tampil di atas panggung TIS malam hari. "Ruby Tuesday" milik Rolling Stones disajikan sebagai pembuka dengan alunan musik akustik yang sederhana, namun tetap bernyawa. Harmoni vokal yang menjadi andalan grup yang kini beranggotakan Firzy (gitar/vokal), Nana (vokal), Rani Trisutji (vokal), Firzy (gitar), Harry (bas), serta Raidy Noor (gitar) dibantu Rama (additional drum), tetap terjaga walau vokal Nana dan Firzy telah termakan usia. Mereka juga mampu menyuguhkan jazz rock impresif pada "Harapan" dan "Kesan". Menghasut puluhan anak muda yang menyaksikan aksi panggung mereka untuk mengagumi musik era 1970-an.

"Cinta yang Hilang", lagu sendu karya Nana dan Firzy, hadir berbalut nuansa kelam yang disulut harmoni vokal yang saling mengisi mengiringi Nana bernyanyi. Senandung Nana masih tetap syahdu dan bernyawa, mengalun pasti diiringi lirihnya alunan flute Edwin Hudioro.

Selanjutnya, Noor bersaudara memainkan lagu terbaru mereka bertajuk "Bye Bye" yang berbaju power pop tahun 1970-an. Lagu ini adalah salah satu lagu dalam album terbaru Noor Bersaudara yang akan dirilis dalam waktu dekat.

Semakin malam, adrenalin semakin mendidih di Tennis Outdoor. Yukie, Beng-beng, dan Trisno, PAS Band melakukan reuni kecil dengan Richard Mutter, mantan drumer mereka. Melodic punk bertempo kencang yang diukir pada lagu seperti "Dogma", "Gangster of Love", "Red Light Shooters" ampuh memaksa penonton untuk beradu fisik, melompat, dan bernyanyi atau bergoyang pada "Yob Eagger" yang bernuansa reaggae rock.

Nada-nada trash metal dihidupkan kembali oleh Krisna J. Sadrach dengan Suckerhead-nya. Mengingatkan kita pada era kejayaan trash metal di tahun 1990-an.

Hari pertama JRP ditutup oleh musik industrial rock yang dipacu Koil. Otong (vokal), Doni (Gitar), Imo (gitar), Leon (drum), dan Adam (bas) menerjemahkan kekuatan sound 60.000 watt ke dalam nada-nada bertempo cepat dalam 9 lagu yang mereka mainkan seeperti "Hiburan Ringan Part 2", "Nyanyian Lagu Perang", "Kenyataan Dalam Dunia Fantasi", "Sistem Kepemilikan", juga "Aku Lupa Aku Luka". Menutup pekatnya malam dengan lirik-lirik penuh amarah dan kehampaan.

Hari kedua JRP berlangsung tidak jauh berbeda. Jumlah penonton sedikit bertambah, terbantu oleh usaha panitia yang berupaya meringankan beban penonton dengan mengurangi harga tiket menjadi Rp 100.000,00 untuk empat panggung pertunjukan. Sebanyak 32 band yang tampil pada hari kedua di antaranya Tengkorak, Getah, The SIGIT, Burgerkill, dan legenda rock ‘n roll Indonesia, Andy Tielman. Sayang beberapa band yang cukup ditunggu kehadirannya seperti Young and Restless (Australia ), BMX Bandits (Skotlandia) juga The Palrlotones (Inggris) urung tampil dalam JRP. Bagaimanapun, dengan berbagai kekurangannya, JRP dengan konsep rock show yang kuat tetap mampu memberi nuansa baru dalam dunia pertunjukan Indonesia, khususnya untuk perjalanan musik rock tanah air.

No comments:

Post a Comment