Tragedi konser musik underground yang terjadi di Gedung AACC (dulu bioskop Majestic) di Bandung hari sabtu lalu merupakan salah satu tragedi konser terburuk yang pernah terjadi di Indonesia. Bayangkan saja, 11 orang tewas dalam satu malam karena berdesak-desakkan. Selain menyibukkan aparat keamanan, masyarakat sekitar hingga sukses memaksa petugas forensik di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) bergadang semalam suntuk untuk mengidentifikasi jenazah, keluarga korban pun sungguh tidak siap kehilangan anggota keluarganya dalam waktu semalam. Apalagi semua korban yang meninggal bahkan luka hanyalah anak-anak SMU yang masih naif bahkan tercatat salah satu satu korban tewas adalah perempuan.
Sepulang dari kantor kemarin saya menyempatkan diri untuk mampir sebentar ke TKP di jl. Braga. Gedung AACC ini secara fisik terlihat sangat kecil dan selintas memang tidak tampak layaknya gedung konser (mungkin lebih cocok dijadikan restoran). Terletak di sebelah museum Konferensi Asia Afrika (KAA), gedung ini pada zaman Belanda biasanya digunakan untuk pementasan muziek kamer, seperti recital piano atau biola.
Menurut artikel yang saya baca dari Guru Besar LB-ITB, Prof. Yusuf Affendi (PR,14/2), arsitektur gedung AACC ini sengaja dibuat sempit dan kapasitas idealnya hanya diperuntukkan bagi 200 pengunjung saja. Pintu keluar hanya dua pintu kiri dan kanan gedung dan pintu entrance di bagian depan. Ventilasi bangunan tetap dipertahankan seperti aslinya hingga saat ini. Alasannya tentu saja supaya kualitas akustiknya tetap terpelihara bagus. Nah bayangkan jika anda berada di ruangan sesumpek dan sesempit itu dijejali pengunjung hingga 1000 orang dengan iringan musik metal dan goyangan full-body-contact, gepeng gepeng dah lu!
Terlepas dari pihak siapa yang salah di malam itu (panpel atau aparat), musibah tersebut sungguh sangat disayangkan. Meskipun musibah ini bukan yang pertama kali dan tidak dimonopoli oleh konser musik Underground saja. Apa pun alasannya, satu nyawa sangat mahal harganya bagi sebuah konser musik (apa pun jenisnya). Inilah potret buram dari kebebasan berekspresi berlebihan yang justru menjadi sebuah ekses yang kontraproduktif di masyarakat kita. Kegemaran masyarakat kita akan musik keras yang memiliki tendensi kuat ke arah kekerasan adalah refleksi dari masyarakat dan bangsa kita yang sedang stress dan frustrasi karena himpitan ekonomi. Ditambah dengan solidaritas sempit maka lengkaplah sudah ciri masyarakat kita yang sakit.
Perkembangan dan karakter musik Underground
Sebenarnya jika dirunut melalui perjalanan musik urban underground, musik asal Inggris ini sudah diadopsi cukup lama di Indonesia sebagai sebuah mutasi sosial. Meskipun tidak ada catatan resmi, generasi awal musik ini dapat dilihat perkembangannya di era ‘70-an yang terinspirasi oleh pergolakan sosial, politik dan tata ekonomi global. Perkembangan musik underground pun merevolusi orientasinya dari sekedar isme (paham) dalam kesenian musik postmodern menjadi gerakan (movement) nyata yang mem-propagandakan idealisme anti-kemapanan, anarkisme, pacifisme dan wacana pemberontakan menghadapi ketimpangan utara-selatan (north-south gap) atau neo-liberalisme hingga cita-cita negara tanpa kelas sosial dan ekonomi.
Pembentukan komunitas atau kaderisasi sebagai media untuk aktualisasi diri pun dilancarkan untuk memperkuat eksistensi musik ini. Meskipun di panggung lirik-lirik musik underground hanya terdengar seperti teriakan keras “Oooo…”, “Aaaa…” atau sedikit “Oyyy” atau “Blaaahhh…” yang nyaris tidak bisa dicerna maksudnya apa namun sejarah membuktikan proses kaderisasi justru semakin diminati karena idealismenya membentuk suatu imagined community yang mungkin hampir dapat disamaratakan dengan Imagined Community karyanya filsuf politik terkenal, Bennedict Anderson.
Saya pun masih ingat ketika di SMU pas jenis musik ini sedang happening, teman-teman saya mulai hobi main band dan tentunya musik yang mereka mainkan adalah musik underground sebagai ekspresi idealismenya. Menurut mereka musik ini cocok dengan semangat remaja mereka yang masih rebel dan idealis (atau naif?). “Kaga dianggep gaul deh kalo ga suka musik ini!” menurut salah satu teman SMU saya.
Karakteristik utama dari musik underground yang lain adalah konsisten dengan prinsip anti-komersialisme dan anti-borjuis. Berangkat dari jalur indie, musik ini dikenal orang dari mulut ke mulut tanpa proses publikasi apalagi marketing yang biasanya dilakukan major label untuk masuk ke pasar. Apa yang mereka idamkan biasanya adalah sebuah tatanan kesetaraan struktural bagi seluruh lapisan masyarakat. Mereka membenci dominasi ekonomi yang hanya dinikmati segelintir orang saja.
Anarkisme melalui jalur kekerasan adalah manifestasi perjuangan mereka sebagai anti-thesis keteraturan sosial yang cenderung dimanipulasi oleh kepentingan politik tertentu. Setidaknya inilah yang ingin mereka katakan ke dunia: Justice for all! (Koq jadinya kayak album Metallica?).
Amatir
Terus terang, menurut saya musibah yang terjadi di gedung AACC itu sebenarnya sudah keluar dari jalur idealisme-idealisme di atas. Meskipun musik underground sudah mengalami perkembangan berarti tetapi tampaknya proses kaderisasi masih berjalan di tempat. Hal ini terlihat dari amatirnya panpel ketika acara di malam yang naas itu berlangsung.
Band Beside yang hadir untuk launching album baru malam itu mengaku tidak mengira penonton bakal sebanyak itu. Namun ketidaksigapan panitia dalam melakukan persiapan organisasi, keamanan, masalah teknis hingga ticketing menambah runyam acara yang seharusnya berjalan normal. Hal ini terungkap dari sebuah wawancara dengan seorang panitia malam itu di TV yang mengatakan bahwa kebanyakan dari panitia adalah cabutan dan seluruh personil hanya berjumlah 30 orang. Waktu persiapan acara ini pun terbilang ajaib: 3 hari aja mennnn!!! Jumlah ticket pun tidak dibatasi. Dengan harga ticket yang hanya Rp. 10.000 ditambah konser berlangsung pada tanggal muda, tentu semua kalangan bisa membelinya. Inilah yang tidak diantisipasi oleh panpel.
Insiden pembagian alkohol oleh panitia di tengah-tengah pertunjukkan adalah sebuah tindakan yang konyol kalau tidak mau dibilang tolol. Ketika ditanya, panpel berkilah kalau sebotol bir saja tidak akan memabukkan jika diminum oleh seorang penonton. Oalaaa….tampaknya mereka tidak tahu kalau small percentage of alcohol dapat sangat merusak sel-sel otak jika distimuli oleh faktor-faktor berikut ini: perut kosong, mendengar musik sangat keras, berada di dalam ruangan yang sumpek, gelap dengan penerangan seadanya dan dalam keadaan lelah setelah berjingkrak-jingkrak ga jelas. Furthermore, bad influence of alcohol akan sangat terasa efeknya bagi orang-orang yang justru tidak memiliki kebiasaan minum minuman keras terutama perempuan. Ga percaya? Coba aja sendiri Bos!
Pergeseran Paradigma
Ada lagi fakta yang membuat musik underground ini menarik. Menurut artikel yang ditulis oleh Tarlen Handayani (PR, 14/2), musik underground pasca tumbangnya orde baru mengalami pergeseran paradigma yang cukup signifikan. Berawal dari identifikasi komunal para “undergrounders” di tahun 80an, kini komunitas tersebut cenderung lebih individualistik. Ironisnya, idealisme komunal dan anti-kemapanan kini bergeser menjadi hubungan mutualisme dan negosiasi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan hidup.
Indikatornya terlihat dari banyaknya band indie yang masuk ke jalur komersil, booming usaha distro dan label yang mengubah wajah sangar underground menjadi potensi bisnis yang menggiurkan. Saya saja sekarang sudah tidak sanggup membeli produk-produk distro di Bandung karena terlalu mahal. Namun musibah minggu kemarin semakin mempertegas indikasi pergeseran paradigma underground: pengejaran profit semata oleh panitia melalui penjualan ticket yang tidak dibatasi hingga masuknya peran sponsorship untuk mendukung konser tersebut.
Meskipun tidak terlalu mengubah karakteristik bermusik mereka di panggung, namun pergeseran paradigma ini sebenarnya cukup disayangkan oleh sebagian pihak. Terutama para undergrounders konservatif yang masih menginginkan semangat rebel, anti-kemapanan dan komunalisme tetap dipertahankan di komunitas ini. Tapi apa daya, alih-alih memberikan teladan bagi generasi berikutnya, ternyata banyak dari mereka pun telah keluar dari jalur underground yang sesungguhnya karena kebutuhan finansial. Inilah yang menjadi paradoks bagi generasi underground yang baru.
Hal ini kian mempertegas kita bahwa prinsip apa pun yang kita anut (atau kita kultuskan) sebagai manusia biasa yah tetap saja orang juga butuh makan, cing! Pemenuhan kebutuhan ekonomi adalah hal mutlak yang harus dipenuhi oleh manusia untuk bertahan hidup (survival). Melihat paradigma underground yang sudah bergeser tadi, suka atau tidak suka, sekarang hanya tinggal menunggu waktu saja hingga saatnya cita-cita gerakan underground tadi berubah dari semangat anti-kemapanan menjadi semangat konsumerisme.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment